Surat Gembala

SURAT GEMBALA PRAPASKA 2011
KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG.
Hari Minggu Biasa IX Tahun A/I, Tanggal 5 – 6 Maret 2011.
“Orang Katolik Sejati Melakukan Kehendak Bapa”
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Rabu Abu menjadi pintu masuk bagi kita semua ke dalam masa Pra Paska, yang
dalam tradisi Gereja dijadikan masa untuk “retret agung”. Disebut “retret agung”
karena selama 40 hari kita diajak oleh Gereja untuk mengikuti Yesus Tuhan kita
semakin dekat, mengenal-Nya semakin dalam, dan mencintai-Nya semakin mesra.
Saya anjurkan seluruh umat Katolik sungguh menggunakan masa retret agung untuk
keperluan tersebut, secara pribadi maupun bersama, agar iman berkembang semakin mendalam dan tangguh, dan dengan demikian menjadi orang Katolik sejati.

Selama masa Pra Paska 2011 kita diajak untuk merenung, berdoa, dan
membicarakannya dalam pertemuan umat dengan tema “Inilah orang Katolik Sejati”.
Di manakah terletak kesejatian kita sebagai orang Katolik? Pada nama baptis Katolik yang dipasang melengkapi nama diri? Tentu tidak. Pada keterangan agama yang kita anut, yang tercantum pada KTP? Tidak juga. Pada cara seruan ketika kita berdoa?
Pada kutipan Injil hari ini Tuhan Yesus bersabda, ‘Bukan setiap orang yang berseru
kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat. 7: 21) Bukan pada cara seruan kita berdoa, tetapi pada rahmat yang memampukan kita melakukan kehendak Bapa di sorga terletak kesejatian kita sebagai orang Katolik.

Dengan pernyataan tersebut, dapat kita mengerti pula bahwa ‘kekatolikan’ memuat
pemahaman tentang iman yang terbuka, bahwa siapa pun yang melakukan kehendak
Bapa di sorga dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Katolik merupakan suatu nama yang memuat ajakan agar kita diperkenankan mengalami Allah yang sejati. Pada zaman kita ajakan tersebut menjadi sungguh berat karena kita hidup dalam berbagai arus yang berlawanan secara ekstrim. Ada arus tak peduli pada keberadaan Allah dan perannya bagi keselamatan manusia karena manusia merasa semakin mampu mengusahakan keselamatan sendiri. Ada juga arus fanatisme beragama yang dipeluk oleh orang-orang yang berseru “Tuhan, Tuhan”, namun perilakunya tidak sesuai dengan seruannya, karena merusak milik orang lain, dan bahkan membinasakan kehidupan manusia.

Saudari-saudaraku yang terkasih,
Dalam kehidupan beragama kerap kita jumpai praktek-praktek keagamaan yang tidak selaras dengan pengalaman akan Allah yang sejati, karena bukan Allah yang kita muliakan, melainkan kepentingan diri sendiri yang kita penuhi. Kita beranggapan
bahwa pelaku utama keselamatan itu diri manusia, diriku, dan bukan Allah. Dalam
seruan kepada Allah, kerap kita berpendapat yang harus terjadi adalah kehendakku,
bukan kehendak Bapa yang di sorga. Ranah keagamaan telah kita jadikan tempat
berjualan, dan bukan lagi menjadi tempat doa. Kita ciptakan ilah-ilah baru yang
muncul dari kepentingan diri kita sendiri untuk memenuhi kepentingan diri kita sendiri
pula.

Ketidakberesan dalam ranah keagamaan ini menjadi sumber aliran-aliran arus yang
bermuara pada ruang publik yang tuna adab. Intoleransi yang akhir-akhir ini menjadijadi,
kebohongan publik yang merambah ke setiap sudut ruang kehidupan
masyarakat, korupsi, ketidakadilan, kekerasan yang merajalela, bahkan telah masuk
dalam keluarga-keluarga kita adalah buah-buah dari hidup keagamaan yang tidak
benar, karena yang kita sembah sebenarnya bukan Allah sejati, melainkan ilah-ilah
ciptaan kita sendiri.

Permenungan kita mengenai “Inilah orang Katolik sejati” merupakan ajakan
pertobatan, agar kita meninggalkan kegelapan untuk masuk dalam terang. Kita buka
hati kita agar Roh Kudus, Roh Penasihat, menasihati kita agar menjadi trampil
melaksanakan pembedaan roh-roh (Inggris: “discernment of spirits”, Latin “discretio
spirituum”). Dalam ulah rohani ini kita kenal langkah-lagkah rohani untuk “necep
sabda, neges karsa, ngemban dhawuh”. Langkah-langkah itulah yang dapat kita
lakukan untuk mengisi masa Pra Paska kita menjadi masa retret agung.
Dalam langkah “necep sabda”, kita buka telinga kita untuk mendengarkan sabda
Allah, yang bersabda melalui Kitab Suci. Sabda itu terasa manis karena meneguhkan
perbuatan baik kita, namun sabda itu bisa pahit kalau mengkritik perbuatan salah kita.
Seharusnya sebagai orang Katolik sejati kita biarkan daya kekuatan sabda itu
mengubah hati kita. Dalam langkah “neges karsa” kita menjajagi apa kehendak Tuhan
bagi hidup kita, membeda-bedakan mana kehendak Tuhan, mana kehendak kita; dan
kemudian menegaskan bahwa kehendak Tuhanlah yang harus kita utamakan dalam
kehidupan kita. Dalam langkah “ngemban dhawuh”, kita bangun kehendak hati dan
budi kita karena kita bertekad melaksanakan kehendak Tuhan “ngemban dhawuh
Dalem Gusti” dalam kehidupan kita.

Saudari-saudaraku yang terkasih,
Saya yakin, langkah-langkah itu dapat membantu kita menjadi bijaksana untuk
mendirikan rumah di atas batu, sebagaimana dikatakan Tuhan, "Setiap orang yang
mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang
bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan
datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab
didirikan di atas batu.” (Mat. 7:24-25).
Sebagai orang Katolik sejati, marilah kita juga bersedia diantar oleh Maria, bunda
Allah dan bunda Gereja, kepada Yesus, “per Mariam ad Jesum”. Maria telah menjadi
teladan beriman kita. Seluruh hidupnya telah menjadi kesempatan untuk menyimpan
segala peristiwa dan merenungkannya dalam hatinya. Setiap kali kita berdoa rosario,
dalam sinar peristiwa-peristiwa Tuhan: gembira, terang, sedih dan mulia, kita diajak
untuk merenungkan peristiwa-peristiwa hidup kita sendiri sebagai peristiwa-peristiwa
keselamatan yang dilaksanakan oleh Allah sendiri.
Allah yang telah memulai pekerjaan-pekerjaan baik di antara kita akan
menyelesaikannya (bdk. Flp 1:6).


Salam, doa dan Berkah Dalem,
Semarang, 25 Februari 2011
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang