Kamis, 28 April 2011

Sambutan tertulis Romo V. Kirjito ketika menerima Maarif Award 2010 di TIM Jakarta

KRIWIKAN DADI GROJOGAN
Sama sekali tidak ada bayangan apalagi impian dalam diri kami, baik pribadi maupun atas nama masyarakat Lereng Merapi, untuk berada di salah satu tempat paling terhormat di Jakarta ini, yaitu Taman Ismail Marzuki. Apa lagi kami berdiri di hadapan
yang terhormat Bapak Prof Achmad Safi’i Ma’arif yang lebih “nyedulur” dipanggil Buya Safi’i, sang pendiri Ma’arif Instititut. Salam kenal Pak.
Kami juga sedang dalam tatapan mata hati penuh cinta Ketua dan Pengurus beserta dewan Yuri Ma’arif Award. Salam hormat kami kepada Bapak dan Ibu sekalian. Tidak terbilang jumlahnya bapak-Ibu, saudara-saudari, sahabat, para pemerhati, akademisi, tokoh masyarakat, para wartawan dan aktivis yang memenuhi ruangan ini. Salam sejahtera untuk Anda semua. Mohon maaf, spesial kami tempatkan di urutan belakang, barangkali ada dari instansi pemerintah DKI, kami sampaikan “kula nuwun.”
Sekali lagi, salam dan doa serta hormat kami setulus hati kami persembahkan kepada Anda semua pada malam yang penuh berkat dari Tuhan Hyang Mahabaik.
Ibunya kota
Sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Maarif Institut yang sedemikian besar menaruh perhatian dan penghargaan atas apa yang kami hidupi dan lakukan di Lereng Merapi dengan menganugerahkan Maarif Award 2010, izinkanlah malam ini kami mengungkapkan getar-getar nadi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia yang dianugerah Tuhan untuk menghuni ruang-ruang asli Nusantara Indonesia ini, yaitu di pelosok desa dan lereng-lekuk indah bukit dan gunung. Khususnya kami yang tinggal di Lereng Merapi Barat di lima belas desa sekecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Lereng-lekuk bukit dan gunung yang disebut desa (jawanya “ndeso”) di seluruh Nusantara ini menarik dan layak untuk dijuluki “ibu”. Ibu siapa kira-kira? Jawabnya adalah “ibunya kota.” Ibu yang pelan-pelan melahirkan kota-kota, dari tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi hingga kota yang menjelma menjadi “ibu negara” seperti Jakarta. Jadi ibu negara sekarang ini, selain Ibu Ani Susilo Yudhoyono, sebenarnya yang asli adalah desa-desa seluruh Nusantara berikut penghuninya yaitu para bapak-ibu, pemuda-pemudi tani.
Kautamaan “ibunya kota” amat jelas. Pekerja keras mengolah alam dengan segenap tenaga, pikiran, perasaaan dan terutama iman untuk menyediakan pangan bagi semua, khususnya bagi “anak-anaknya” yaitu kota-kota tadi yang tidak lagi sempat membuat pangan. “Ibunya kota” juga menyediakan tenaga kasar maupun tenaga halus terpelajar untuk kemajuan “anaknya” yaitu kota-kota tadi.
Sayang kebanyakan kota tidak berhasil membalas budi ke “ibunya”, bahkan amat memprihatinkan karena kota-kota itu malahan menjadi raksasa yang rakus, tidak menghidupi moral, sehingga tega menelan habis-habisan “ibunya” yaitu daerah pertanian Bekasi, Tangerang, Bogor. Duka dari “ibunya Jakarta” tiap tahun menjadi genangan air di seantero Jakarta. Toh gaya hidup raksasa kota itu dicopy paste oleh kota-kota besar dan kecil dengan terus menelan desa, sawah, tanah subur, lereng bukit dan gunung berikut hutan sebagai sumber pangan, oksigen bersih dan Air di Nusantara ini.
Dan malam hari ini Maarif Institut mengingatkan kepada kita semua, khususnya para generasi muda, mungkin baik juga diperhatikan oleh para pemimpin agar tidak melupakan, apa lagi menghina dan menyepelekan “ibu” kehidupan yang asli, desa dan para petani, tentu saja termasuk nelayan di Nusantara ini. Sekaligus Maarif Institut menyadarkan kepada orang-orang desa dan petani yang malam ini diwakili oleh Mas Gimin selaku petani Lereng Merapi dan Bapak Yatin selaku kepada Desa Ngargomulyo, — satu-satunya kepala desa di Indonesia yang sudah berhasil membuat “Peraturan Desa tentang Lingkungan Hidup.” Silahkan Mas Gimin dan Pak Yatin berdiri sebentar.
Selaku pastor dari Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, saya berterima kasih kepada Mgr. I. Suharyo, Uskup Agung Semarang yang menugaskan dan memberi kepercayaan kepada saya untuk hidup dan melayani umat Katolik maupun masyarakat Lereng Merapi pada umumnya, sejak September tahun 2000 sampai sekarang. Terima kasih karena selain wajib mengurusi umat Katolik saya didukung untuk melakukan hal-hal kecil bersama warga Lereng Merapi apapun agamanya, antara lain memikirkan masa depan anak-anak generasi muda Merapi agar tetap menjadi penerima alam Merapi yang bukan makin rusak melainkan makin kaya dan indah, menjadi penerus budaya tani yang kaya makna berikut seni budaya setempat di mana kemanusiaan dan persaudaraan, kerukunan menjadi “doa bersama” yang sungguh dihayati setiap hari.

Sebatas saya bisa belajar memahami, Lereng Merapi diyakini oleh banyak orang apapun agamanya, sebagai tanda cinta dan kemurahan Tuhan yang menciptakan Air dan rentetan tali-temali aneka kehidupan, yang oleh para Ki Dhalang dan para kasepuhan pecinta cita rasa seni tinggi, diungkapkan dalam doa syukur dengan kata-kata “negeri gemah ripah loh jinawi, tata-tentrem karta raharja, subur makmur, tuwuh kang sarwa tinandur dst ”. Group Musik legendaris Koes Plus menjadikannya lagi penuh syukur dengan judul “Kolam Susu.”
Defisit sila kedua Pancasila
Namun kita maklum, tahu dan semoga merasakan juga bahwa desa-desa Nusantara sedang dilanda getaran terlalu kuat bagaikan gempa bumi, yang sumbernya adalah perilaku sebagian besar pemimpin-pemimpin yang menurut kesan banyak orang termasuk Buya Safii, almarhum Gusdur, Romo Mangunwijaya, Mgr. Yulius Darmaatmaja dengan serat Gembala 1997, Mgr. Suharyo dengan Nota Pastoral KWI dan sekian tajuk maupunb artikel di media massa yang mencemaskan terjadinya “defisit dan kemerosotan penghayatan sila ke dua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Gempa bumi moral dan kemanusiaan itu menggendong bahaya yaitu kehancuran taman firdaus Nusantara yaitu desa-desa dan lekuk lereng bukit dan gunung berikut kearifan lokal yang sudah dihidupi nenek moyang ratusan tahun lamanya.
Gemerlap listrik masuk desa dan kebudayaan baru nonton televisi, mendengarkan radio, memutar cassete, mp3 dsb, di satu pihak membuat warga lereng bukit dan gunung itu merasakan madu modernisasi. Rumah jadi terang benderang, dunia luar dapat dilihat dari layar kaca, gaya hidup modern dari soal makanan, pakaian hingga bangunan rumah, kendaraan dsb, ditawarkan sebagai kegenapan hidup modern berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Di lain pihak kita semua tahu bahwa belum sampai pada hitungan ratusan tahun modernisasi, madu itu sudah berubah menjadi racun. Racun itu pelan-pelan menjadi penyakit yang mengancam kebudayaan, peradaban dan kearifan berbasis relasi atau pergaulan manusia dengan alam dan dengan Sang Pencipta segala-sesuatu di muka bumi ini yang sudah dihidupi berabad-abad lamanya dan memberi kedamaian sorgawi di dunia, meski berdampingan dengan kemiskinan ekonomi untuk ukuran hidup di zaman modern.
Saya bukan sosiolog yang memiliki lembaga dan sumber dana untuk malakukan penelitian sitematik akademis dengan mengarahkan kaum terpelajar baru, namun saya berani menduga bahwa madu modernisasi yang kemudian menjadi racun mematikan peradaban itu terjadi di seantero penjuru desa dan lereng bukit gunung di Nusantara ini. Akankah dibiarkan proses penghancuran kebudayaan, peradaban, religiositas yang plural dan toleran di Nusantara ini?
Fenomena Lereng Merapi
Yang paling fenomenal adalah pengerukan pasir hitam G. Merapi, baik di alur sungai, perbukitan (gumuk) Lereng Merapi yang secara alamiah berfungi untuk menahan lahar panas atau dingin hingga di perhutani dan lahan pertanian penduduk dengan menggunakan mesin yang disebut back hoe atau “bigo”. Sebuah alat mekanis yang dapat memindahkan 5-10 ton pasir ke truk-truk dalam hitungan waktu hanya sekitar 15 -20 menit saja. Ratusan alat-alat itu menyerbu lereng Merapi sejak tahun 1990 an tanpa mengikuti prosedur perijinan yang sebetulnya dimiliki baik oleh Perintah Kabupaten maupun Propinsi Jawa Tengah. Tentu saja penduduk Lereng Merapi langsung dibuat kagum dan terpesona dengan kehebatan teknologi modern menambang pasir, yang begitu cepat mengubah pasir menjadi uang. Bigo-bigo itu juga bagaikan madu baru dibanding dengan cara manual yang membutuhkah waktu minimal satu hari untuk memenuhi bak truk ukuran 5 ton.
Namun lagi lagi terulang, madu itu segera berubah menjadi racun. Modernisasi pengerukan pasir itu hanya dalam hitungan tidak lebih dari sepuluh tahun sudah berubah menjadi ancamanan yang melebihi ancaman letusan G. Merapi. Debu merapi beterbangan sepanjang jalan yang dilalui ribuan truk pasir selama 24 jam per hari. Belum lagi getaran-getaran ribuan truk itu yang pelan-pelan membuat retak-retak bangunan rumah penduduk. Belum jalan-jalan yang rusak parah di seantero desa Lereng Merapi dan jalan raya Yogya Semarang.
Warga menyaksikan sendiri amburadulnya alam Merapi berikut akibat langsung ikutannya seperti matinya mata Air dan berubahnya arah perjalanan air di musim hujan. Dan tentu yang paling mengerikan adalah ancaman punahnya peradaban pertanian tanah subur dengan air berlimpah, karena tanah humus hanya sedalam 1 meter, selebihnya hingga puluhan meter adalah pasir dan batu yang membuat para kapitalis pasir ngiler untuk mengeruknya sampai tuntas.
Pengalaman madu yang singkat dan berubah jadi racun itu menjadi mahaguru yang cerdas, memberi bahan edukasi dan konsientisasi. Warga Lereng Merapi makin menyadari kekayaan desa dan alam Merapi, sehingga pelan-pelan kenjadi kesadaran ekologis, kesadaran harga diri yang sedang terinjak-injak, kesadaran bersama guna mewariskan alam Merapi yang lebih baik kepada generasi yang akan datang, termasuk keberanian jika suatu ketika harus melawan. Seolah-olah saya datang tepat pada waktunya, sehingga saya mau tidak mau ajur-ajer dengan pergumulan Lereng Merapi.
Gelar Budaya Merapi 2001

Bermula dari sebuah gagasan mempertemukan berbagai pihak, antara lain pemerintah, budayawan, seniman, akademisi kegunungan, spiritualis untuk menuai berkah kahadiran Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo di Paroki St, Maria Lourdes Sumber. Pertemuan itu mengambil tema “Dialog Spiritual, Budaya dan Ekologi Merapi, yang dihadiri oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten Magelang Drs. Hasyim Affandi, Uskup Agung Semarang Mgr, Ignatius Suharyo, Budayawan GP. Sindhunata SJ, Kyai muda Tegalrejo Gus Yusup, ahli ilmu kegunungan DR. Ratdomo Purba, seniman dan budayawan Mh. Ainun Najib dengan moderator Seniman Mendut Sutanto. Itulah hajat kecil yang dalam bahasa Jawa disebut “kriwikan”, artinya kecil-kecilan saja. Ternyata sebagaimana sifat Air, meskipun hanya “kriwikan”, dalam proses waktu bisa menjadi “grojogan” atau air terjun yang besar gerakan budaya dengan nama “Gelar Budaya Merapi 2001. Acara yang serba kebetulan itu diikuti berbagai kelompok seni tradisi maupun kontemporer baik dari Lereng Merapi maupun dari kota seperti Yogya, Solo, Jepara, Magelang. Semua menanggung biaya sendiri keculai makan dan penginapan yang disediakan oleh penduduk Lereng Merapi. Juga tidak ada sponsor atau funding dari manapun.
Dari sanalah mungkin media massa melihat Gelar Budaya Merapi adalah ekspresi jujur warga yang memberontak dan melawan eksploitasi alam yang terang tidak adil itu. Itulah magnet yang menarik media masa cetak maupul elektronik mempublikasikan Gelar Budaya Merapi 2001 itu secara besar-besaran baik di tingkat lokal maupun nasional. Tentu saja publikasi ini sangat membanggakan dan mengangkat martabat warga Lereng Merapi yang selama ini menjadi berita jika Merapi meletus.
Gelar Budaya Merapi 2001 itu ternyata terus bergulir dari tahun-ke tahun dengan berbagai isue ekologi, pertanian, persaudaraan, seni budaya hingga sikap terhadap Air yang kemudian lebih dikenal dengan Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA) Merapi. Gerakan budaya itu mempertemukan begitu banyak pihak baik dari asal dan latar belakang apapun termasuk agama yang berbeda-beda.
Gerakan Masyarakat Cinta Air Merapi pelan-pelan menjadi kegiatan Edukasi berbasis Alam terutama Air, budaya pertanian dan kearifan lokal yang semula untuk generasi muda Lereng Merapi namun dalam lima tahun terakhir ini di minati oleh pelajar, mahasiswa, kelompok-kelompok dari kota bahkan dari luar negeri. Mereka memilih metode live in di Lereng Merapi.
Sudah barang tentu kegiatan edukasi ini turut membuat masyarakat Lereng Merapi merasa bangga karena antara lain boleh ikut berperan mendidik anak-anak orang kaya dari kota-kota, bahkan menjadi anak angkat keluarga petani. Tidak sedikit yang terus menjalin komunikasi persaudaraan pasca live in. Berbeda dengan daerah wisata yang merasa hanya sebagai penjual jasa (penginapan, makanan, pemandu dslb), dalam kegiatan live in edukasi berbasis alam dan budaya Merapi warga merasa sebagai orang tua, guru, saudara, teman yang tentu saja lebih mengangkat harga diri.

Gerakan Budaya Caping Merapi
Angka 9 adalah angka yang menarik. Maka 9 tahun Gelar Budaya Merapi direfleksikan bersama pada tahun 2009. Berbagai pihak mencoba menuai makna pergerakan budaya selama sembilan tahun. Memang tidak se sistematis gerakan yang dipandu oleh LSM atau Perguruan Tinggi. Namun terasa bahwa masyarakat hendak melanjutkan gerakan budaya itu. Masalah lingkungan pasir dianggap selesai. Pemerintah sudah tidak mengeluarkan lagi izin penambangan pasir menggunakan alat berat / back hoe. Penambangan manual pun diatur. Dengan berhentinya penambangan pasir sejak 2008 air untuk sementara tidak ada masalah.
Oleh karena itu gerakan edukasi budaya di Lereng Merapi difokuskan pada Gerakan Budaya Caping Merapi. Suatu gerakan bebas yang hendak mengangkat harkat dan martabat petani sekaligus memperjuangkan keadilan bagi desa dan penduduk yang hidup dari mengolah alam yaitu bertani. Semoga gerakan-gerakan “kriwikan” ini berkat sentuhan hati Maarif Institut dan keterlibatan media massa berhati nurani, “kriwikan” lereng Merapi menjadi “grojogan” di seluruh Nusantara ini.
0Akhir kata, terima kasih kepada semua pihak yang dengan suka rela dan tulus menjadi “Sedulur Merapi”, menjadi “Sedulur Desa-Desa seluruh Nusantara” ini. Biarlah Lereng Merapi dan desa-desa di Nusantara ini akan tetap tertinggal, tetap miskin ekonomi, tetap diabaikan namun punya banyak teman, banyak sedulur dari manapun dengan latar belakang apapun.
Jakarta, 10 Juni 2010
Romo V. Kirjito
Pastor desa Lereng Merapi
Posted 12 Jun 2010 by Kirjito in NIKMAT MEMBACA
← Kompas, “JAWA KRISIS AIR”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar