Kamis, 28 April 2011

DIALOG HARUS TERUS DIUSAHAKAN ( wawancara dg Mgr I Suharyo )

Minggu, 31 Oktober 2010 | 03:57 WIB
KOMPAS/DANU KUSWORO
ST SULARTO
”Memangku jabatan kepemimpinan dalam Gereja Katolik, fokus perhatian saya adalah pembinaan iman dan moral,” kata Monsinyur Ignatius Suharyo Pr kepada ”Kompas”, Jumat (24/9).
Ditunjuk sebagai Uskup Agung Koajutor tanggal 25 Juli 2009, berangkat ke Jakarta tanggal 27 Oktober, dan diterima dalam upacara resmi kegerejaan tanggal 28 Oktober, Mgr I Suharyo tanggal 29 Juni 2010 resmi menerima tanggung jawab penuh dari Mgr Julius Kardinal Darmaatmadja SJ sebagai Uskup Agung Jakarta.
Mewawancarai untuk media umum, persoalan meluas ke masalah-masalah sosial-politik-budaya yang sedang aktual. Pembinaan dan pengembangan iman dan moral tidak berada dalam ruang kosong. Mgr Suharyo—doktor Teologi (Kitab Suci dengan tesis tentang Injil Lukas, guru besar Teologi)—tahu betul posisi yang harus diambil dalam hal persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa, utamanya masyarakat kota metropolitan Jakarta.
Dari sekian persoalan masyarakat, di antaranya adalah masalah kekerasan yang meruyak belakangan ini. Menurut Mgr Haryo, kata kunci untuk mengatasinya adalah dialog.
”Dalam masyarakat yang heterogen, serba kontras dan keras, kata kuncinya adalah dialog. Di satu pihak kuat didengungkan bahwa abad ini adalah (harus menjadi) abad dialog. Namun, hal-hal yang berlawanan dengan semangat itu juga semakin menggejala, misalnya intoleransi dan kekerasan. Saya sangat percaya dan sangat berharap pada dialog dan saya tahu kemampuan berdialog mengandaikan kematangan. Seperti apa pun sulitnya, dialog harus selalu diusahakan dan dilatih,” paparnya.

Selain gejala kekerasan dengan jalan keluar dialog, Mgr Haryo menyinggung rumitnya persoalan yang dihadapi negara-bangsa Indonesia.

”Saya bukan seorang pengamat sosial, apalagi pengamat politik. Yang selalu saya sadari adalah kompleksitas realitas bangsa kita, misalnya jumlah penduduk, ragam budaya dan agama, luas geografis, sejarah, tingkat kesejahteraan dan sosialnya. Siapa pun yang memimpin negara ini, sebaik apa pun dia, rasanya tidak akan mudah membawa bangsa ini menuju kesejahteraan menyeluruh yang dicita-citakan para pendiri negeri ini. Apalagi kalau hal-hal yang paling dasar, seperti NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, masih dipersoalkan.”

”Saya hanya berharap semoga suara-suara kritis kenabian yang tulus yang dilontarkan sekian banyak pihak semakin didengarkan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan-keputusan politik yang menyangkut banyak orang, apalagi seluruh bangsa.”

Pengharapan

Bagaimana cara mengubah rasa pesimistis menjadi optimistis? Bagaimana pula dengan Pancasila?

Terus terang, kalau mengikuti perasaan hati, saya pun pesimistis mengenai keadaan negara kita. Yang paling memprihatinkan saya adalah tampaknya belum ada kesatuan niat dan tekad, misalnya untuk mewujudkan nilai-nilai kelima sila dalam Pancasila. Korupsi tetap marak meskipun upacara-upacara keagamaan juga marak. Intoleransi semakin mencemaskan. Kekuasaan dicari demi kekuasaan. Ada seloroh, salah satu sebabnya setiap kali kita menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, yang kita nyanyikan hanya bait pertama.

Sebagai seorang uskup, salah satu tugas saya adalah mewartakan pengharapan. Maka, dalam keadaan apa pun, saya mesti berbicara mengenai pengharapan dan mengajak seluruh umat untuk mewujudkan harapan. Oleh karena itu, saya sering menyampaikan berbagai success stories yang saya dengar dan saya lihat ketika saya mengunjungi umat.

Itulah lilin-lilin kecil yang menyala di tengah kegelapan. Saya sangat gembira—dan hal itu saya pandang sebagai usaha menyalakan lilin-lilin kecil—ketika menjelang ulang tahun ke-65 RI yang lalu Kompas menyajikan telaah populer mengenai masing-masing sila dalam Pancasila dan meletakkannya pada halaman depan.

Seberapa jauh hubungan dialogis dikembangkan dengan tokoh-tokoh kritis yang peduli terhadap masa depan Indonesia?

Saya amat menghargai dan menaruh hormat kepada sekian banyak tokoh kritis, cerdas, sekaligus tulus tanpa pamrih yang dengan kritik dan pemikiran mereka menyatakan cinta mereka kepada bangsa Indonesia. Pribadi-pribadi inilah yang juga saya bayangkan kalau saya berbicara mengenai peran kenabian dan minoritas kreatif. Mereka adalah suara hati bangsa yang jernih.

Apakah masalah mendasar sulitnya dikembangkan dialog?

Satu, untuk mengembangkan dialog yang baik dibutuhkan pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Rendahnya pendidikan menjadi hambatan yang amat besar dalam rangka dialog.

Dua, dominasi kepentingan sesaat menjadi hambatan amat besar. Agama tidak terutama dipikirkan ungkapan dan perwujudannya lagi, tetapi sebagai institusi, dan menjadi alat berbagai kepentingan. Kalau situasinya sekompleks ini, dialog menjadi masalah besar. Akan tetapi, seperti apa pun hambatannya, dialog harus selalu diusahakan, dimulai dari yang menyentuh langsung kehidupan, misalnya bersama-sama mengatasi kemiskinan dan mendidik masyarakat sadar lingkungan.

Apakah kondisi yang paling memprihatinkan saat ini?

Yang saya lihat dengan jelas adalah lunturnya nilai musyawarah untuk mufakat yang merupakan kekayaan budaya lokal yang perlu dijunjung tinggi, serta semakin lemahnya model ekonomi yang berpihak kepada rakyat kebanyakan.

Perburuhan dan lingkungan hidup

Setelah hampir satu tahun tinggal di Jakarta, persoalan apa yang akan jadi prioritas pelayanan?

Saya masuk ke Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) yang sejarahnya sudah lebih dari 200 tahun. Yang menjadi perhatian saya saat ini adalah mempelajari sejarah panjang itu dengan dinamikanya yang berbeda dari zaman ke zaman dan akhirnya bermuara pada perhatian terakhir yang sudah dirumuskan sebagai arah dasar pastoral KAJ.

KAJ memilih dua masalah sebagai entry points, yakni masalah perburuhan dan lingkungan hidup. Dibangun habitus baru di kalangan umat, yakni dua gerakan nyata meliputi perhatian serta penghargaan terhadap pembantu rumah tangga dan, kedua, mengubah pandangan mengenai sampah. Untuk sampah, tidak lagi dipakai istilah membuang sampah, tetapi meletakkan sampah pada tempatnya dan mengubah sampah menjadi berkah.

Saya akan melanjutkan usaha atau gerakan yang sudah dimulai dengan harapan semoga gerakan itu semakin disadari umat Katolik sebagai perwujudan imannya dan wujud keikutsertaan membangun keadaban publik bangsa. Tentu sambil terus bersama-sama mencari kemungkinan baru.

Analisis sosiologis secara teoretis selalu penting dalam pelayanan Gereja. Saya sangat menghargai laporan-laporan penelitian yang setiap kali dimuat dalam media. Laporan-laporan itu memberikan wawasan yang penting bagi saya pribadi.

Bagaimana moto tahbisan uskup memperoleh makna dalam kegembalaan saat ini?

Moto diambil dari Kisah Rasul ”melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati” (Serviens Domino cum Omni Humilitate). Dalam wacana spiritualitas kristiani, kepemimpinan selalu dikaitkan dengan pelayanan dan jauh dari kaitan dengan kekuasaan. Saya yakin konsep itu tidak hanya benar dalam konteks kekristenan, tetapi juga (seharusnya) berlaku umum sebagai cita-cita.

Terus terang, tidak jarang saya mendengar ucapan orang yang memberi komentar terhadap watak pegawai negeri dengan nada negatif ”ah, itu mental pegawai negeri” atau ucapan lain ”kalau dapat dipersulit mengapa dipermudah”. Saya sedih mendengarnya.

Bagaimana cara memaknai perkembangan teknologi komunikasi?

Saya bersyukur karena kesadaran akan pentingnya teknologi informasi untuk diabdikan bagi pengembangan kemanusiaan, iman, dan moral berkembang. Yang harus dihadapi adalah arus deras informasi (yang) menyergap pribadi, menyerang keluarga, menggilas komunitas dan masyarakat umum di saat mereka santai, melalui bujukan-bujukan halus dan menghibur untuk membeli gaya hidup. Susahnya, pada umumnya orang cenderung lebih memilih yang menyenangkan daripada yang perlu; lebih memilih yang gampang daripada yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar