Kamis, 28 April 2011

Jejak ingatan dalam glenak glenik bersama romo A Setyo Wibowo SJ

Malam itu, 20 Desember 2010, hujan mulai menetes dipermukaan tanah seiring dengan menjelang datangnya petang. Seorang imam yg bergabung dengan Serikat Yesus (SJ) sejak 1988 setelah tamat di Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang yaitu romo Antonius Setyo Wibowo SJ mengunjungi Wisma Mahasiswa Drijarkara (WMD) Semarang.
Layaknya mendapat kehormatan seorang tamu, beberapa ugorampe sederhana telah dipersiapkan sebelumnya oleh 2-3 kawan, dengan memasak sendiri untuk sebuah hidangan sederhana.
Duduk berdua belas mengelilingi meja makan.  Berdesak-desakan dalam kehangatan makan malam bersama. “Mengajar apa mo di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Drijarkara Jakarta ?”, muncul sebuah ungkapan untuk mengenal lebih dekat dan mengawali obrolan ringan di meja makan.
“Kalau romo sendiri setuju ndak dengan rencana pembangunan tenaga nuklir ?”
sebuah pancingan obrolan yang lebih hangatpun mengalir menjadi panjang lebar. Romo Setyo, demikian panggilan akrabnya, mencoba menjawab dengan tegas bahwa pembangunan energi tenaga nuklir tidak perlu dilakukan di Indonesia. Pemborosan biaya dan dampak kerusakannya dahsyat. Beliau mengungkapkan bahwa ada beberapa syarat mutlak untuk mendukung keberadaan energy  nuklir tersebut, salah satunya budaya disiplin, dan bangsa kita realitas budayanya tidak siap. Korupsi sudah menjadi budaya dan dengan begitu menopang ketiadaan budaya disiplin.
Disisi yang lain, Indonesia mempunyai energi alternatif yang belum dimunculkan dalam perencanaan pembangunan nasional. Yaitu energi panas bumi. Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai untaian vulkanolologi yang hampir menyebar se nusantara. Disitulah energi panas bumi tersimpan dan layak dieksplorasi, dikelola oleh negara untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sebuah potensi yang menjadikan Indonesia menjadi berbeda dalam pergaulan internasional.
Untuk menopang kerja peradaban tersebut dibutuhkan perencanaan nasional untuk mendorong pengelolaan potensi kapasitas manusia Indonesia oleh Negara. Harusnya potensi seorang akedemisi, peneliti ditopang kehidupan kesehariannya oleh Negara hingga lebih leluasa dan nyaman untuk mengeksplorasi penelitian. Harusnya ada pemimpin politik, pemimpin negara yang mempunyai kapasitas untuk menggerakkan kesadaran kolektif bangsa akan pentingnya energi panas bumi sebagai modal pembangunan nasional. Apakah selama ini negara melakukan hal tersebut ? itulah masalah dan sekaligus realitasnya .
Ketika obrolan di meja makan terlihat semakin hangat dan hidangan  dengan oseng-oseng buncis wortel dengan lauk tahu goreng dan telor dadar sudah cukup menghangatkan kami dari rasa lapar,  maka kamipun  beranjak untuk melanjutkan glenak-glenik obrolan di ruang perpustakaan.
Layaknya obrolan tanpa tema tunggal, tentunya tiap lontaran akan mewarnai dalam rangkaian perbincangan. Begitu juga dalam obrolan saat itu bermunculan berbagai tema. Antara lain tema tentang budaya korupsi, oligarki politik di Indonesia, relasi konspirasi politik Indonesia dalam konteks internasional, lemahnya militansi kerasulan awam orang muda katolik, hingga realitas dan harapan akan gereja katolik Indonesia . Namun dengan rendah hati romo Setyo mengakui jika selama ini beliau kurang mengetahui perkembangan secara detil kehidupan menggereja di Indonesia.
Dalam setiap perbincangan, romo Setyo menyelipkan beberapa fakta pengalaman beliau ketika studi di Paris. “ Dengan membayar pajak, masyarakat di Paris mencintai negaranya. Namun ketika ada kebijakan atau tindakan aparatus Negara yang mengganggu rasa aman dan kesejahteraan masyarakat, kritikan pedas akan muncul secara lugas, bahkan dalam bentuk demonstrasi besar-besaran sekalipun.” demikian lontaran romo Setyo tentang kehidupan politik masyarakat Perancis.
Juga ketika mencoba menceritakan kehidupan masyarakat katolik di Perancis, romo Setyo mengungkapkan bahwa peran awam katolik sudah terdidik sejak kecil, salah satunya melalui kegiatan berkomunitas semacam pramuka jika di padankan dengan di Indonesia. Dalam berkomunitas juga menjalankan kewajibannya dengan memberikan iuran anggota. Sehingga kegiatan dalam komunitas tersebut hidup, mandiri dan berkembang. “Mereka belajar bersama tentang pengetauan iman dan juga mendiskusikan tentang kebijakan gereja seperti surat gembala dari Uskup. Dalam aktifitas mereka, yang lebih tua juga melakukan pendampingan bagi yang muda. Sehingga ada mekanisme regenerasi yang alami. Semuanya itu awam katolik yang bekerja. Saya sebagai pastor hanya menjalankan tugas seperti memimpin misa, pengakuan dosa, pemberkatan dan hal lain yang lebih sebagai tugas imam.”
Tanpa terasa dalam perbincangan perdebatan yang kami lalui, jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.30. Romo Setyo berpamitan, karena besok pagi harus meninggalkan Semarang kembali ke Jakarta.
Jejak pemikiran yang dapat dipungut dari glenak glenik menjadi obrolan,  perbincangan menjadi perdebatan dan eksplorasi menjadi refleksi, munculah beberapa hal yang layak untuk dieksperimentasikan dan bahkan dieksplorsikan lebih lanjut. Bagaimana budaya disiplin dapat lakukan dlm keseharian personal maupun komunitas. Bagaimana  memulai budaya kejujuran sekaligus kedisiplinan untuk mematahkan budaya korupsi dalam keseharian dan komunitas. Bagaimana mencintai dan bangga terhadap bangsa dan Negara namun dengan begitu juga  tidak mengurangi sikap kritis atas realitas berbangsa dan bernegara. Bagaimana mendorong awam muda katolik untuk lebih militan dalam kehidupan menggereja. Bagaimana mendorong peningkatan kapasitas pengetahuan iman dan sikap reflektif orang muda katolik.
Kehadiran romo Setyo telah memberi spektrum pemikiran di WMD. Walaupun hanya dalam durasi kurang lebih 3 jam juga telah membantu mewarnai langkah-langkah pemikiran kedepan. 
Sebagai imam yg ditahbiskan pada tahun 1999 setelah menyelesaikan studi teologinya di Pontificia Universita Gregoriana-Roma,  sosok romo Setyo telihat lebih sebagai seorang akedemisi dengan citra diri intelektual yang tentunya juga sekaligus seorang imam katolik. 
Romo Setyo yang alumnus STF Drijarkara merupakan pribadi yang nyaman untuk diajak ngobrol. Beliau sehari-hari mengajar Filsafat Yunani di almamaternya sejak 2007. Maitrise en Philosophie dari Institut Catholique de Paris dan Doktor dari Universite Paris I-Pantheon Sorbonne  ini menekuni sebuah penelitian tentang pemikiran para filsuf pada 2500 tahun yang lampau. Salah satunya seorang murid Sang Sokrates yang bernama Platon. 
Sudah tiga buku telah beliau terbitkan. Antara lain :  Gaya filsafat Nietzsche, Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis) dan Arete : Hidup Sukses Menurut Platon. Siapa berminat membaca ? atau berminat menjadi imam ?(R Y Agung Setijono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar