Senin, 25 April 2011

Pikiran Drijarkara

TANGGAL 6 Februari, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara merayakan kelahiran ke-34, sebuah usia telah mendekati
kematangan 40.

Sudahkah fokus pikiran Driyarkara memberi getar alur dalam relevansi dan sumbang kontekstualisasi dalam pergulatan
intelektual bangsa ini?

Hidup berpikir, mendidik, berbicara di radio, menjadi guru besar psikologi UI, anggota parlemen MPRS (1962-1967), dan
meninggal di usia 54 tahun; Driyarkara yang lahir di Kedungubah, Purworejo, 13 Juni 1913, meninggalkan refleksi
mendalam tentang manusia, proses kebudayaan dan obsesi paham manusia sebagai sahabat bagi sesamanya (homo
homini socius) saat kita semua sedang senang dan tega memperlakukan sesama sebagai obyek, musuh yang harus
dihancurkan (homo homini lupus: manusia adalah serigala yang saling mengerkah sesamanya).

Ketika realitas hidup manusia mau diketahui dan diberi penjelasan rasional dalam epistemologi yang mengembangkan
seluruh peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi hingga berdampak kerusakan lingkungan dan dijadikannya manusia
sebagai obyek dan alat, di sana usaha memberi lagi makna mendasar siapa manusia diwujudkan dengan mencari
bingkai ontologi (keberadaan bermakna manusia itu ke mana?)

Tugas filsafat sebagai ilmu kritis rasional yang secara sistematis mempertanyakan siapa manusia secara mendasar dan
bagaimana dinamika hidupnya dalam tindakan dan proses kebudayaan bersama orang-orang lain, oleh Driyarkara
diletakkan dalam tiga matra renung pokoknya, yaitu manusia dan sesamanya; proses-proses dimensi biologis, fisik
manusia dalam hominisasi dan humanisasi sebagai proses peradaban dimensi moral, kemanusiaan, dan kerohanian
manusia.

Baginya, manusia bukan perlawanan antara rohani-jasmani, di mana jiwa itu suci dan badan itu jahat. Dualisme
antropologi ini dilawan Driyarkara dengan pandangan manusia yang merupakan kesatuan si diri aku dengan sisi
kejasmanian dan dimensi kerohanian. Roh mewujudkan refleksi budi dan kesadarannya. dan lewat badanlah roh
menjelma.

Dalam kerohanian manusia, di lubuk hatinya itulah sebuah panggilan bersuara untuk mengatakan yang baik dan buruk.
Moralitas bersumber sebagai panggilan di hati nurani untuk menjadi timbangan dari putusan tindakannya.
Proses biologis, fisik, badani yang oleh Driyarkara disebut hominisasi, diyakini lewat pendidikan (terutama pendidikan
orang muda) diproses melangkah ke humanisasi di mana manusia sebagai pribadi utuh melalui aksi-aksi budayanya
mewujudkan kerohaniannya (Driyarkara, Filsafat Manusia, 1969; 1978, hal 11).

ALIRAN pikiran yang hanya menganggap manusia melulu roh, yaitu idealisme dan spiritualisme, ia sikapi kritis dengan
pandangan manusia sebagai persona (pribadi) keseluruhan dengan dimensi roh dan sisi badani. Begitu pula pandangan
materialisme yang mengatakan manusia hanya badan fisik, ia tanggapi keterbatasannya karena tidak mampu
menjelaskan mengapa manusia mampu mencinta, bersedih di depan kematian, dan luka bila disakiti badan dan hatinya.
Proses matang fisik dalam hominisasi sekaligus bersama proses dewasa matang dalam humanisasi dimensi
kerohanian hingga si persona atau pribadi tampil manusiawi badani sekaligus rohani.

Bagaimana si aku ada dan hidup bersama orang lain? Atau bagaimana sosialitas (hidup bersama) antarmanusia dihayati
oleh si aku? Driyarkara memaparkan dua pokok dasar obsesinya, yaitu iklim pendidikan dan dinamika kebudayaan
sebagai tempat tumbuh persona manusia, sebagai pokok pertama.

Pokok kedua, prinsip hidup bersama, upaya memperlakukan sesama sebagai pribadi otonom. Artinya, punya moralitas
nurani dalam dirinya.

Pokok pertama, pendidikan dan dinamika kebudayaan. Driyarkara melihat kebudayaan sebagai dinamika aktif aksi
manusia yang "mengatur" kodrat dan mengalahkan kodrat alam (ibid, hal 18). Yang kedua, kebudayaan sebagai hasil aksi
manusia dalam karya-karya seni, budaya, pertanian, dan seterusnya.

Mengambil eksistensialisme pada zamannya, pembudayaan aktif ini (baca Percikan Filsafat) oleh Driyarkara ditunjuk
sebagai ciptaan Tuhan guna mengatasi diri dari kodrat alam dan determinasi dunia material.

Kecenderungan tenggelam dalam determinasi itu serta lawan pembudayaan aktif disebut Driyarkara sebagai
"pembuayaan" (mungkin karena buaya hidup di rawa hingga simbolis cocok untuk pasif menunggu mangsa daripada
aktif).

Ada empat dimensi pembudayaan aktif. Pertama, karya manusia mengolah materi agar bermanfaat (dimensi ekonomis)
(Driyarkara, Kumpulan Kenangan, Kanisius, hal 84).

Kedua, mengembangkan kemungkinan dan ciri dunia materi dengan pemanfaatan hukum alam, dikembangkan menjadi
ilmu teknik (sisi teknik).

Ketiga, dimensi budaya sebagai ekspresi diri, rasa, cinta dan jiwa manusia saat mengolah alam. Aksi budaya memakai
budi adalah contoh dalam mengolah dunia materi.

Dimensi keempat, civilization, di mana manusia-manusia aktif memproses ungkapan ekspresi dalam budi bahasa dan
ungkapan (struktural-kultural) yang berkeadaban. Dalam pigura dan gerak saling melengkapi antara proses
pembudayaan aktif dan humanisasi itulah pokok perhatian pendidikan Driyarkara diletakkan.

Ia menamai pendidikan sebagai pemanusiaan manusia muda dalam menjadi insan yang tanggap dan bertanggung
jawab. (Mungkin, inilah renungan kontekstual Driyarkara mengenai kesadaran hak seseorang dalam hubungan dengan
kewajiban yang kini amat relevan karena kita jungkir balik dari pendulum ekstrem kewajiban saja menuju hak belaka!)

BAGAIMANA humanisasi manusia diproses hayati? Ditunjuk lapangan aksi budaya dalam tiga matra: pertama, tematisasi:
pemberian arti dan makna penghayatan hidup. (Di sinilah sumbangan nilai dari kemajemukan suku, agama, dan local
genius di Indonesia ditunggu pemberiannya).

Kedua, universalisasi sebagai kesadaran manusia akan tematisasi yang diwujudkan nilai penghayatannya, khusus pada
sesama sebagai manusia dalam kemanusiaan universal.

Ketiga, teorisasi: proses pemerian bingkai pengertian sistematis dan dinamis pada tematisasi dan universalisasi. Tolok
ukur negatif pembudayaan adalah situasi kacau. Oleh Driyarkara ini disebut kondisi antinilai pada humanisasi. Contoh,
hukum sebagai kepastian penyelesai konflik yang adil dipakai penguasa guna memenangkan kepentingan kekuasaan
sendiri sehingga situasi antinilai, yaitu tidak percaya lagi pada hukum, terjadi. Apalagi bila menginjak-injak keadilan.

Pokok kedua, dalam hidup bersama antarmanusia, Driyarkara menunjuk dua prinsip pokok agar sosialitas (hidup
bersama itu) beradab. Prinsip pertama, saling memperlakukan sesama sebagai pribadi-pribadi yang dihormati
otonominya. Prinsip kedua, mengganti persaingan dan keadaan struktur hidup bersama yang penuh intrik, saling
membenci dan memenangkan kepentingan egonya sendiri dengan tega membunuh sesama dalam kondisi benci-
membenci, curiga-mencurigai sebagai keadaan homo homini lupus (keadaan hidup bersama saling mengerkah dan
menerkam bagai serigala bagi sesamanya) untuk diganti dalam kondisi manusia menghayati sesamanya sebagai
sesama sahabat (homo homini socius).

Bagaimana kondisi sosial manusia sebagai sahabat ini diberi wujud sosial, budaya, dan politik?
Pertama, hidup bersama dalam keterbukaan komunikasi (Driyarkara, Persona dan personisasi, Kursus BI – Ilmu
Mendidik, 1961). Artinya, saling memberi sumbangan suasana komunikatif agar tiap orang mencapai kesempurnaan
manusiawi dan kerohaniannya, bahkan saling mengomunikasikan proses pemanusiaan; humanisasi itu sendiri (hal 35-
37).

Kedua, saling mengantar menuju pencapaian "persona" (pribadi yang dalam kerohanian adalah citra Allah sendiri). Dalam
sisi kejasmanian dan kerohanian mencapai kedewasaan purna (artinya dewasanya manusia rohani-jasmani).
Ketiga, dalam suasana manusia sebagai sahabat yang harus "mengisi diri sendiri" dalam kemerdekaannya dalam
komunikasi dengan Tuhan.

Dalam menyikapi dunia materi dan sarana, Driyarkara memberi prinsip praktis, dengan budinya mengambil jarak agar
dengan kemerdekaan memilih untuk tidak tenggelam dalam arus material. Lalu, prinsip moderasi sebagai matiraga
dalam menyikapi emosi marah atau luapan amuk yang saling menghancurkan sesama.
Obsesi-obsesi besar pikiran itu memang membutuhkan olahan penjabaran guna relevansi kontekstualisasinya.
Bukankah justru di situ letak "keabadian" buah pikiran seorang pemikir untuk bangsanya?

Maka, untuk menutup tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan kritis berikut bisa dilontarkan.
Pertama, bagaimana tesis manusia sebagai sesama bisa menjadi titik pijak sistem hidup bersama dalam bernegara,
bermasyarakat secara programatik dan wacana terbuka? Manakala tingkat penghayatan kita bukan menghayati dan
menghormati proses tetapi "budaya jalan pintas"; ketika mahasiswa lebih memilih diktat dan suapan i daripada
pencarian? Ketika budaya tertulis tekun dengan tematisasi belum terbentuk sudah dihancurkan oleh budaya lisan "flash-
flash eksotis teve elektronika" yang menyedot nikmat indera berjam-jam, tetapi tak satu pun tertinggal menjadi refleksi
mendalam?

Kedua, di saat paham manusia direlatifkan bahkan disangsikan keutuhannya sebagai pribadi, apalagi diragukan
kredibilitasnya sebagai sahabat karena kekerasan dan kekejaman bagaimana sumbangan pemikiran homo homini
socius, Driyarkara mampu diwacanakan tidak hanya sebagai teks tetapi wujud konteks (aktualisasi kultural dan
strukturalnya) agar manusia otonom berharkat sebagai pribadi benar-benar dihormati?

Ketiga, saat pembuayaan (bukan pembudayaan) proses pendidikan mengalami cacat kedalaman kualitas dan berisi
indoktrinasi (lack of the depth), bagaimana tematisasi, teorisasi, dan universalisasi proses pemanusiaan dengan bakat
kognitif; religius; estetis manusia diberi wujud nyata pemekarannya?

Keempat, saat banyak pendapat dengan multiopini menjadi perayaan perbedaan dalam multikultur, apakah visi budaya
Driyarkara masih relevan.

Semoga kesulitan menulis nama Driyarkara menjadi Dwiyakarya atau Dwiakara atau Driaskara tidak menjadi lambang
kian tidak "dikenalnya" Driyarkara, pikiran, apalagi obsesinya hanya karena enggan menggali pikirannya. Padahal, berpikir
rasional, kontekstual, mendasar, dan kritis yang menjadi obsesi utama filsafat Driyarkara. Api akan ditemukan bila dikenali
dan digali.

Mudji Sutrisno Budayawan, dosen STF Driyarkara, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/19/opini/131666.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar