Kamis, 28 April 2011

Mochtar Lubis, 34 tahun yang lalu.

Tigapuluh empat tahun yang lalu, atau tepatnya 6 April 1977, Mochtar Lubis menyampaikan ceramah “Manusia Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.[i] Jika beberapa hal yang diungkap oleh Mochtar Lubis 34 tahun yang lalu itu sekarang ini kita coba buka-buka lagi, ini dimaksudkan bukan pertama-tama untuk menyampaikan fakta-fakta yang kita hadapi sekarang ini yang jika diteropong melalui tulisan itu kemudian menjadi lebih jelas, tetapi adalah lebih pada bahwa tulisan itu sebenarnya bisa dibaca sebagai pesan untuk secara lebih serius kita membangun budaya yang berlawanan dengan apa yang ditulis oleh Mochtar Lubis itu, khususnya pada identifikasinya terkait dengan ciri-ciri manusia Indonesia yang buruk.

Sama dengan halnya ketika Sukardi Rinakit yang memotret banyak masyarakat kita yang bercirikan masyarakat melodramatic, yang mudah kasihan, mudah lupa dan mudah bosan. Mas Kardi tentu pada saat yang sama juga berharap bagaimana kita bisa bahu-membahu untuk membangun masyarakat yang tidak mudah kasihan, tidak mudah lupa dan tidak mudah bosan. Tidak seperti para elit politik, pejabat-pejabat di negri ini yang justru ‘memelihara’ karakter melodramatik atau justru menggunakan karakter melodramatik masyarakat ini sebagai strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan mereka. Atau berdasarkan sejarawan Arnold J. Toynbee seperti dikutip dan ditafsir oleh J. Kristiadi: “Pertarungan bangsa Indonesia membangun politik yang beradab akan selalu berhadapan dengan perilaku barbar yang daya rusaknya sangat dahsyat.”[ii] Di satu sisi Mas Kardi dan banyak elemen masyarakat lain ingin kita tidak menjadi bangsa yang melodramatik, di satu sisi kita berhadapan dengan perilaku elit politik yang menggunakan ke-melodramatik-nya masyarakat itu untuk mempertahankan kekuasaannya!

Mochtar Lubis, 34 tahun yang lalu menulis bahwa ciri pertama manusia Indonesia itu adalah hipokritis alias munafik, berpura-pura, lain di muka, lain di belakang. Kasus aktual yang secara gamblang dapat menggambarkan ini adalah saat Arifinto, anggota DPR yang membuka video porno saat sidang paripurna. Atau yang selalu kita hadapi terkait dengan ucapan-ucapan elit politik dan pejabat-pejabat kita, lain ucapan, lain tindakan!

Ciri kedua yang disebut oleh Mochtar Lubis adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya”, adalah kalimat yang cukup populer. Hal ini juga pernah disinggung oleh Koentjaraningrat dalam bukunya “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan” yang terbit pertama kali tahun 1974. Mentalitas yang menjauhkan bangsa Indonesia dari jiwa pembangunan, salah satunya disebut oleh Koentjaraningrat: sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[iii]

Ciri lain yang disebut oleh Mochtar Lubis, manusia Indonesia itu cenderung tidak hemat, ingin jadi ‘milyuner seketika’, kurang sabar, tukang menggerutu -tidak berani secara terbuka, dan sering mudah jatuh menjadi manusia-sok: kalau berkuasa mudah mabuk berkuasa. Beberapa hal ini juga senada dengan yang diungkap oleh Koentjaraningrat sebagai: sifat mentalitas yang suka menerabas, sifat tak percaya kepada diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni dan sifat yang meremehkan mutu.[iv]

Masih ada beberapa lagi ciri-ciri buruk manusia Indonesia yang ditulis oleh Mochtar Lubis, tetapi kiranya yang di atas itulah yang sekarang ini perlu kita lebih perhatikan. Tentu Mochtar Lubis juga menuliskan banyak ciri positif yang melekat pada diri manusia Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan pentingnya strategi kebudayaan dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Bangsa dibentuk dengan sengaja, bukannya dengan ketidak-sengajaan. Maka, semua berkewajiban dalam membangun sebuah budaya, tanpa kecuali, termasuk dan terutama dalam hal ini adalah para elit politik dan pengelola negri ini khususnya, dan para pemimpin di semua levelnya pada umumnya. Pemimpin pada semua levelnya dapat menjadi model hidup bagi berkembang (dan hancurnya) sebuah budaya, maka kehadirannya di tengah-tengah sebuah komunitas hidup bersama adalah sangat penting. Sayangnya, Presiden sebagai pemimpin (dan juga sekaligus merupakan model hidup bagi bangsa Indonesia), dengan menggunakan hak prerogratifnya lebih senang melekatkan Departemen Kebudayaan menjadi satu dengan Departemen Pariwisata dari pada dengan Departemen Pendidikan, dan runyamnya lagi ini kemudian digeser menjadi di bawah Menko Perekonomian! Atau ini juga merupakan politik kebudayaan juga? Tetapi apa yang mau di-budaya-kan di bangsa Indonesia melalui kebijakan ini?

Maka jika ‘pemimpin-pemimpin formal’ dalam “Pertarungan bangsa Indonesia membangun politik yang beradab akan selalu berhadapan dengan perilaku barbar yang daya rusaknya sangat dahsyat” justru berperilaku seperti layaknya seorang barbar, maka sudah waktunya rakyat membangun budaya(tanding)nya sendiri dan memaknai upaya ini adalah sebagai sebuah pertarungan juga. Pertarungan yang melibatkan semua lini. Karena jika melihat situasi yang berkembang saat ini, dan melihat lagi tulisan Mochtar Lubis (dan juga Koentjaraningrat) lebih dari 30 tahun yang lalu, dan jika itu kita tanyakan pada Cicero, mungkin jawaban yang diperoleh adalah: ikan membusuk mulai dari kepala! Untuk itu, biar segala kebusukan yang sudah merebak di kepala itu tidak melebar ke sumbu badan sampai ekor, kepala-kepala itu sebaiknya dipotong –segera, lebih cepat lebih baik. *** (Greg Sudargo-tamatan F.Kedokteran UNDIP angkatan 85-sekarang sdg study di STF Drijarkara Jakarta-13/4/2011)

[i] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban, Inti Idayu Press, 1986, cet-7.

[ii] J. Kristiadi, Batu Nisan Gedung DPR, Kompas, Selasa, 12 April 2011, hlm. 15.

[iii] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Penerbit PT Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45.

[iv] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar