Senin, 25 April 2011

Religiositas dan Implementasinya dalam Kehidupan (Menguak Pemikiran Romo Mangun)

24 Maret 2010, Sofyan Badrie

SOSOK Y B Mangunwijaya adalah pribadi penuh ketangguhan dan kegigihan.
Ketangguhan dan kegigihannya diwujudkan dalam membela harkat dan
martabat manusia. Terutama rakyat kecil-miskin yang terpinggirkan.
Seandainya Indonesia memiliki 100 orang seperti Mangunwijaya,
barangkali
iklim dan suasana bangsa kita lebih semarak. Paling tidak,
makin banyak saksi dan pelaku sejarah pembela kemanusiaan di tengah
hiruk-pikuknya individualisme.
Bertemu dengan Romo Mangun, yang lahir tanggal 6 Mei 1929 di Ambarawa,
Magelang Jawa Tengah, laksana bertemu dengan esensi dan hakikat.
Karya-karyanya merefleksikan hakikat manusia, baik di bidang sosial,
politik, agama dan budaya. Ungkapan dan kata-katanya membawa pada
kesadaran akan citra dan hakikat kemanusiaan sendiri.
Perjuangannya terhadap kemanusiaan direalisasikan lewat pengabdian
pada sesama. Misalnya, perbaikan rumah dan tempat tinggal kaum
tersisih yang berada di pinggir Sungai Code, Yogyakarta, beberapa
tahun silam. Walaupun ia seorang pastor Katolik, namun pengabdiannya
pada sesama tidak terbelenggu konvensi primordialistik keagamaan.
Sepak terjang Romo Mangun tidak terbatas hanya perbaikan fisik kaum
papa, namun juga menyangkut aspek vital yaitu empowering pemberdayaan – sumber daya manusia. Berbagai macam buku sebagai penunjang pemberdayaan juga disediakan, sehingga “menggeluti” bahan pustaka menjadi tradisi sekaligus bagian dari hidup mereka.
Keinginannya tinggal bersama kaum miskin itu karena ia tahu pasti
bahwa sesuatu yang ingin dimiliki kaum miskin adalah harga diri. Kaum
itu memerlukan orang yang bisa diajak berbincang dan berbagi rasa.
Untuk keperluan itulah Romo Mangun meninggalkan pastoran dan memilih
hidup bersama mereka.
***
NAPAK tilas Romo Mangun ini menarik untuk dikaji. Mengapa pribadi
Mangun bisa mendekonstruksi belenggu konvensi primordialistik
keagamaan, sehingga dapat menolong dan memberikan cinta kasih kepada
siapa saja yang tertindas sisi kemanusiaannya? Padahal manusia modern
penuh pamrih berbagai kepentingan.
Barangkali, inilah yang menyebabkan mengapa bila bertemu Romo Mangun
adalah bersua dengan esensi dan hakikat. Yang selalu mengedepankan
hati nurani sebagai hakikat dan citra kemanusiaan sejati. Terlebih
lagi pandangannya tentang religiositas – kata kunci gagasan Mangun -
dalam beberapa hal “mengatasi” segala sekat-sekat agama secara formal.
Religiositas. Kata ini mempunyai makna khusus bagi Romo Mangun.
Sebenarnya apa makna dan signifikansi religiositas itu? Apakah agama -
secara formal – kemudian menjadi tidak penting lagi? Lalu, apa
relevansi religiositas bagi manusia modern? Tulisan ini mencoba
mengelaborasi persoalan-persoalan itu.
Religiositas, menurut Romo Mangun, adalah sesuatu yang lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati,” riak getaran hati nurani pribadi;sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena
menapaskan intimitas jiwa, ducoer dalam arti Pascal, yakni cita-rasa
yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman
pribadi manusia. Karenanya, pada dasarnya religiositas “mengatasi”
atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi.
Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang
cirinya lebih intim. (Sastra dan Religiositas, Kanisius Yogyakarta
1988).
Dalam pengamatan Romo Mangun, realitas, praksis kehidupan, terdapat
tidak sedikit orang menganut secara formal agama tertentu namun
praktek kehidupannya ternyata tidak mencerminkan sikap dan perilaku
orang beragama. Boleh jadi, motivasi keberagamaannya karena jaminan
materi, karier politik, ingin memperoleh jodoh maupun kedudukan atau
jabatan. Sehingga tidak dapat disangkal bila koruptor-koruptor
besar-kecil, lintah darat, penindas, penipu, orang cabul adalah juga
orang beragama. Lalu, apa fungsi dan peran agama bila tidak mampu
menciptakan manusia yang berperikemanusiaan?
Ada pula orang yang secara formal ia ateis atau tidak menganut agama
apa pun namun pada praksis perilaku, sikap dan usahanya sangat
berperikemanusiaan. Ia suka menolong orang, rendah hati, toleran,
berlaku bijak dan rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi
kepentingan umum. Apakah orang semacam ini dikategorikan jahat
walaupun tidak menganut agama? tanya Mangun.
Oleh karenanya, menurut Mangun, religiositas pada kodratnya inklusif.
Sedang agama adalah eksklusif. Religiositas (iman dan takwa)
mempersatukan, karena ia adalah sikap dasar yang menjiwai setiap orang
walaupun berbeda agama. Maka yang terpenting adalah bukan to have
religion tetapi being religius. Inilah yang harus dihargai dan
diusahakan serta didialogkan.
***
DEWASA ini ada kecenderungan menggunakan pengertian agama sebagai
slogan-slogan kemasyarakatan. Hal tersebut mereduksi makna dan
mempersempit pengertian agama. Bahkan bisa menyimpang dari misi agama
semula. Karenanya, Romo Mangun melihat agama praktis-historis bersifat
eksklusif karena beroperasi dalam kerangka kolektivitas, institusi,
sosiologis, politis-ekonomis, organisasi, tradisi, adat, konvensi,
peraturan dan lain sebagainya. Agama yang demikian cenderung digunakan
untuk membela kepentingan setiap lembaga itu.
Bila demikian, apakah kemudian agama menjadi tidak penting? Menurut
Mangun, agama tetap penting, tetapi agama sebagai sebuah pelembagaan
iman sebenarnya hanya penangkapan relatif manusia terhadap wahyu
Tuhan. Wahyu memang mutlak, tetapi penangkapan manusia terhadapnya
(agama) adalah nisbi.
Karena itu, fungsi religiositas (iman dan takwa) “mengatasi” agama.
Orang boleh menganut agama apa pun secara formal. Namun mereka
mempunyai religiositas yang sama, yang sifatnya mempersatukan. Pada
aspek ini, titik temu agama-agama dapat dilahirkan. Sementara dialog
adalah mediator yang menyatukan visi dan misi agama dalam menghadapi
tantangan global abad ke-21. Empat persoalan penting dunia sekarang
dan masa depan adalah menjamin dan memekarkan keadilan sosial,
nilai-nilai moral, kemerdekaan manusia dan perdamaian.
***
DENGAN demikian, menurut Mangun, mempersoalkan agama apa yang dianut oleh seseorang menjadi tidak relevan. Yang utama adalah apakah
seseorang pro-Kerajaan Allah ataukah anti-Kerajaan Allah. Hal ini
berlaku bagi semua umat beragama. Harapan idealnya, adalah orang yang
beragama harus religius sekaligus pro-Kerajaan Allah.
Agama bertugas menjaga agar kehidupan masyarakat manusia teratur dan
pemujaan Allah secara bersama tidak simpang-siur atau menyeleweng.
Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hukum, dalam ajaran,
khotbah dan manifestasi publik serta tata-pementasan. Sementara
kualitas juga diperhatikan, namun hanya mungkin sepanjang masih dapat
dilihat, diukur dan dinilai dari luar.
Karena itu nilai-nilai agama harus ditransformasikan. Agama dalam
masalah-masalah prinsipiil, katakanlah kalau boleh mengambil kiasan
ilmu pengetahuan, adalah ilmu pengetahuan dasar, bukan ilmu terapan.
Agama hanya hidup dan punya arti kalau ada dalam situasi, applied
dalam situasi. Sebab kalau tidak, agama hanya merupakan
prinsip-prinsip yang mengambang di udara, tidak ada nilai-nilai
praktisnya. Agama harus praktis, karena agama memang bertugas
mengintegrasikan manusia, supaya tidak ambrol dari dalam.
Agama – diakui Romo Mangun – walaupun mempunyai fungsi praktis tetapi
bukan segala-galanya. Agama terbatas. Agama pada dasarnya lebih pada
inti kehidupan yang mengolah the last thing, yang paling final.
Tetapi, kehidupan manusia tidak hanya pada yang final, ada
persoalan-persoalan kontemporer sifatnya, sedangkan hal-hal yang
paling final tidak bisa diterapkan pada semua wilayah kehidupan,
tetapi tidak langsung.
Melalui agama – religiositas -, menurut Mangun, manusia seharusnya
sejak dahulu harus berubah total dari manusia lama menjadi manusia
baru yang berkualitas dalam berbagai dimensi. Perubahan itu dari
manusia lama yang berdosa, buruk, yang serba curiga, serba membunuh,
benci-dendam, serba menindas orang lain, menjadi manusia baru yang
penuh cinta-kasih, penuh harapan, penuh kepercayaan, suka menolong,
berkorban, kecil pamrih, toleransi dan dilandasi semangat religius.
Demikian satu sisi pokok pemikiran Romo Mangun, yang intinya ingin
memadukan dunia transenden dengan dunia nyata. Sehingga agama dunia
transenden – dapat membumi dan memanusiakan manusia sekaligus
membangun manusia baru. Dan, selamat ulang tahun serta panjang umur,
Romo. 

Salam.
Sofyan Badrie, mantan redaktur majalah Institut IAIN Syarif
Hidayatullah Ciputat, kini staf pada Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF) Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar