Selasa, 03 Mei 2011

BATIK SEBAGAI SIMBOL MULTIKULTURALISME

Oleh : Yusefin Dellyana, UNDIP F.Hukum 2005

               Masih melekat di ingatan kita pada hari Jumat 2 Oktober tahun 2009 lalu, hampir di seluruh tempat di negeri ini dibalut dengan nuansa batik, tak terkecuali presiden kita yang mengimbau masyarakat luas agar mengenakan baju batik pada hari itu. Bertepatan dengan hari itu, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai
warisan budaya dari Indonesia. Penetapan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi dilakukan dengan mempertimbangkan aspek orisinalitas, kekhasan motif, perjalanan sejarah, dan apakah produk batik ini dibuat oleh masyarakat dan tersebar di wilayah Indonesia. Sebagai warisan budaya nasional, batik mempresentasikan keragaman kebudayaan[1] di Indonesia. Batik secara etimologi berasal dari gabungan dua kata yaitu amba yang berarti menulis dan titik yang berarti titik. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama; namun demikian kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. F.A. Sutjipto, arkeolog Indonesia, percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Dengan kata lain dapatlah dikatakan bahwa batik juga merupakan hasil budaya dari masyarakat di luar Jawa.
               Pakaian batik sendiri sejak ditetapkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO kemudian menjadi pakaian yang dipakai seluruh masyarakat. Batik yang ada di pasaran selama ini didominasi oleh batik Jawa, baik itu batik Pekalongan, Jogja, Solo, maupun Semarangan dengan motif-motif seperti grinsing, sido luhur, dan lain sebagainya. Setidaknya tercatat sebanyak 2500 jenis batik dengan corak dan motif beragam. Penetapan batik sebagai warisan budaya Indonesia ini menurut penulis sangat fenomenal karena bisa menyatukan seluruh lapisan masyarakat dari golongan apapun untuk mengakui dan bangga mengenakan batik yang adalah asli warisan budaya negeri sendiri bukan milik Negara tetangga kita ataupun siapa pun. Ketika hubungan Indonesia-Malaysia semakin memburuk dengan peristiwa Sipadan - Ligitan, Ambalat, penyiksaan TKW, klaim lagu daerah dan tarian daerah; pada 2 Oktober lalu bangsa Indonesia dengan bangga menyerukan kemenangannya akan Malaysia ketika batik disahkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia, sehingga batik disini menjadi simbol multikulturalisme kebudayaan bangsa. Semangat yang diusung oleh batik ini kemudian menjadi sebuah gong yang membangunkan kita mengenai apa itu keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Bukankah batik berhasil men-sederajatkan kebudayaan (dalam wujud benda) yang beraneka ragam? Apakah hal ini juga berlaku bagi wujud kebudayaan yang lain yaitu ide dan pola tindakan? Jika iya, lalu kenapa masyarakat Papua masih merasa tidak sederajat dalam hal demokrasi, keadilan dan hukum seperti apa yang diutarakan oleh Socratez Sofyan Yoman dalam bukunya yang berjudul “Suara Gereja Bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan  di Papua Barat Harus Diakhiri” yang dilarang beredar dengan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-140/A/JA/12/2009.      
(Semarang,February 2010)



[1] Kebudayaan adalah hasil cipta manusia dengan tiga wujudnya yaitu wujud ide, pola tindakan, dan artefak atau benda-benda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar