Minggu, 08 Mei 2011

Ekonomi-Politik Pesisir dan Perikanan; Reposisi Perikanan, Nelayan dan Sumberdaya Pesisir Indonesia

 Oleh : J.Slamet S, Mahasiswa S2 Prodi Lingkungan Perkotaan Unika Soegijapranata

Pengantar

Sumberdaya lautan, pesisir dan, perikanan –berikut pemahamannya pada konteks sumberdaya alam dan komunitas manusianya- dalam konteks universal dipandang sebagai common pool ressource. Berangkat dari pemahaman ini, tidak saja ”pengelolaan” sektor ini diperebutkan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja mengingat konsepsi ini bukan berasaskan property right. Implikasi atas hal ini



muncul-lah apa yang disebut non-cooperative behaviour dan tragedy of commons[1]. Praktek-praktek non-kooperatif dalam skala struktural dan non struktural tampak sekali bagaimana relasi ekonomi-politik antara negara maju dan negara ketiga (development countries), demikian juga praktek di antara komunitas nelayan itu sendiri. Tragedi bersama atas keberlangsungan sumberdaya perikanan, tidak ada satupun pihak yang menjadi penanggung jawab atas dekonstruksi keberadaan sumberdaya ini, namun pihak yang paling dominan menanggung beban adalah nelayan.

1. Sumberdaya Perikanan; Pemanenan Lestari versus Tangkapan Maksimum
Reposisi Indonesia pada sektor kelautan dan perikanan dalam peta global, merupakan tanda tanya besar[2]. Tidak saja terkait Indonesia belum memiliki kebijakan terpadu menyangkut isu kelautan dan perikanan. Pasca Modernisasi sektor perikanan pada awal dasawarsa 80’an[3], dengan berbagai implikasi positif negatif dan efek sosio-ekonomi-politiknya, sampai dewasa ini belum tercapai kesepahaman tentang konstruksi bagaimana komunitas nelayan (aspek ekonomi, politik dan budaya) dipandang. Dalam kacamata developmentalism, nelayan -beserta mata rantai struktur sosial-produktifnya- merupakan rantai produksi yang dapat dipergunakan sebagai sarana eksploitasi sumber-sumber daya perikanan itu sendiri. Konteks modernisasi sektor perikanan, dengan berbagai ragam perubahan cara produksinya (modernisasi sarana mesin kapal, alat tangkap, penentu jelajah dan posisi fishing ground menggunakan GPS) tidak disertai berbagai perangkat pendukung yang mampu mengimbangi kemampuan eksploitasi dan pasca tangkap (misal ketersediaan bahan bakar khusus bagi nelayan, es, cold storage, pelabuhan pendaratan dan regulasi-regulasi lainnya), serta distribusinya (baca-konsumsi-) yang mengakibatkan adanya penumpukan eksploitasi pada area/perairan tertentu, pun mengakibatkan rentannya konflik di perairan serta konflik di daerah nelayan baik yang bersifat struktural maupun horizontal.
Demikian pula kerangka pemahaman regulasi atas pengelolaan sumberdaya perikanan, merujuk pada UU No. No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, dimanan 48 pasal di dalamnya dominant mengisyaratkan kepentingan industri sedangkan pasal yang berbicara perikanan tradisonal hanya 4 pasal. Kasus-kasus yang terbentang dalam stereotype nelayan sebagai penduduk miskin dikarenakan basis produktif mereka yang terdegradasi secara sistemik seperti penurunan hasil tangkap dan tingginya biaya melaut, konflik antara nelayan dengan perusahaan besar, penangkapan ikan illegal, penggunaan trawl oleh pemodal perikanan besar, kompleksitas pencemaran kota, pertambangan dan industri, perubahan cuaca ekstrem telah menyebabkan 4 dari 10 nelayan tradisional tidak mampu melaut, kurun 2008 - 2009, sebanyak 46 orang nelayan meninggal di laut akibat cuaca ekstrim[4].
            Hadirnya berbagai regulasi/kesepakatan baik di tingkat internasional/regional dan, khususnya di tingkatan nasional/daerah belum mampu menjamin sumberdaya perikanan dan komunitas nelayan memiliki kekuatan ekonomi politik yang memadai. Sehingga pandangan terhadap sektor dan komunitas ini seringkali menjadi sangat bias. Terlebih bagaimana tata niaga bidang perikanan juga dituntut untuk menghasilkan pajak, sedangkan pajak yang terambil dari sektor inipun bersifat general fund  artinya tidak kembali secara spesifik pada sektor ini. Munculnya kebijakan pembiayaan pada sektor perikanan khususnya pada skala UMKM ternyata juga tidak mampu memberikan solusi ekonomi politik. Justru pada akhirnya terjadi patron baru dalam aras hierarki ketergantungan modal serta patron-klien dalam sosioekonomi komunitas nelayan. Hal ini dikarenakan pendekatan instrumen finansial (bank) yang menyamakan sektor ini seperti pembiayaan pada sektor lain (misal perkebunan, pertanian, konsumsi dsb), sehingga tidak mungkin variabel dan parameter pembiayaan yang ada pada sektor ini dipandang layak atau ”bankable”.
            Berbagai faktor diatas, diskursus sumberdaya perikanan untuk diakses (-eksploitasi-) dan diperdangangkan (-distribusi-), hadirnya regulasi, ataupun program-program yang ada justru menjadi tragedy of commons  bagi sektor ini. Relasi yang terbangun antara komunitas nelayan dan pemerintah dalam memandang sumber daya perikanan justru menghasilkan jurang pemahaman yang semakin lebar. Di satu sisi pandangan developmentalism menyatakan bahwa hambatan ”kemajuan” adalah sistem konvensional ataupun attitude nelayan, namun gejala yang hadir secara empiris pada pengelolaan perikanan tidak saja menghadirkan ruang konflik secara ekonomis, namun juga politis baik di dalam negeri maupun di tataran internasional[5].

2. Paradigma Liberalisasi
Dalam rangka memenuhi kebutuhan terhadap konsumsi ikan, telah menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas penangkapan ikan secara signifikan. Laporan FAO tahun 2007 mengungkapkan bahwa total produksi perikanan dunia (perikanan tangkap dan budidaya) meningkat secara cepat, dari 100 juta ton pada tahun 1989, naik menjadi 134 juta ton di tahun 2002, dan pada tahun 2004 mencapai 141,6 juta ton.

Terus meningkatnya kebutuhan ikan dunia disebabkan oleh, meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan masyarakat dunia. Selain itu juga karena meningkatnya kualitas hidup yang diikuti dengan bergesernya komposisi makanan sehat yang dicirikan dengan rendahnya kolesterol, tingginya asam lemak tak jenuh ganda omega-3, serta kuantitas dan kualitas protein relatif lebih tinggi dari pada sumber protein lainnya. Dan saat ini masyarakat dunia semakin sibuk, sehingga memerlukan makanan sehat dan siap saji, juga karena ketakutan akan tertularnya penyakit kuku dan mulut, sapi gila, antraks, dan flu burung.  Serta dampak globalisasi akan menyebabkan aktifitas manusia melampaui batas-batas negara, sehingga dituntut pula penyediaan makanan yang dapat diterima secara internasional.
FAO mengungkapkan bahwa pada tahun 2004 diperkirakan sebanyak 41 juta orang yang bekerja disektor perikanan baik bekerja paruh waktu atau penuh yang sebagian besar dari pekerja ini berasal dari negara berkembang khususnya Asia. FAO juga mengungkapkan bahwa pada akhir 2004, kapal ikan dunia diperkirakan mencapai 4 juta unit. Dan rata-rata peningkatan nilai ekspor perikanan dunia sejak tahun 2002 hingga 2006 mencapai 10 persen dengan nilai ekspor perikanan dunia mencapai USD 86,4 Milyar.
Berdasarkan nilai ekspor, terdapat sepuluh negara pengekspor produk perikanan terbesar pada tahun 2001-2006, yang pertama adalah China dengan USD 9,15 Milyar atau 11 persen dari total nilai ekspor perikanan dunia. Lalu Norwegia dengan USD 5,54 Milyar, Thailand USD 5,24 Milyar, Amerika USD 4,19 Milyar, Denmark USD 4 Milyar,   Kanada USD 3,68 Milyar, Chile USD 3,64 Milyar, Vietnam USD 3,36 Milyar, Spanyol USD 2,87 Milyar, Belanda USD 2,84 Milyar dan Indonesia berada di urutan ke sebelas dengan USD 2,1 Milyar.  Negara yang menjadi tujuan ekspor utama adalah Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. 

2.1 Globalisasi Produksi
Dalam rangka memacu produksi perikanan dunia untuk memenuhi kebutuhan pangan, investasi dari satu negara ke negara lain semakin sulit dihindari. Karena itulah globalisasi investasi merupakan bagian dari globalisasi produksi. Dalam dunia perikanan tangkap, globalisasi investasi diwujudkan dengan adanya ijin pengoperasian kapal ikan asing dalam memanfaatkan sumber daya ikan di wilayah berdaulat suatu negara pantai (coastal state) didasarkan pada ketentuan yang tertuang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang mengatur tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Di wilayah ZEE itu suatu negara pantai mempunyai hak berdaulat atas sumber dayanya, baik hayati maupun non hayati. Konvensi ini menetapkan berbagai aturan untuk konservasi dan pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE serta hak dan kewajiban negara pantai dalam kaitannya dengan sumber-sumber hayati tersebut. Pasal 61 UNCLOS 1982 memuat ketentuan mengenai konservasi sumberdaya hayati, disebutkan bahwa setiap negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) di ZEE dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence available). Hal ini bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi sumber daya ikan sesuai dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY).

Sementara  pada Pasal 62, mengatur pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE, yang menyebutkan bahwa negara pantai harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE. Dan apabila negara pantai tidak mampu memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, maka negara pantai tersebut dapat memberikan kesempatan pada negara lain untuk memanfaatkan sisa jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan memperhatikan secara khusus ketentuan pasal 69 tentang negara tak berpantai dan pasal 70 tentang negara yang secara geografis tidak beruntung, khususnya yang berkaitan dengan negara berkembang.
Kebijakan investasi asing khususnya penangkapan ikan di Indonesia, terdapat dua hal yang harus dicermati. Pertama pemberian ijin terhadap kapal ikan asing sangat tergantung pada kebijakan pemerintahan, yang dicerminkan dari peraturan perundang-undangannya.  Di Indonesia dua UU yang menjadi dasar hukum dibukanya “kran” investasi asing dalam memanfaatkan sumber daya ikan di ZEE Indonesia, yaitu UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia dan UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Dalam perkembangannya UU Perikanan No. 9 Tahun 1985 diganti oleh UU No. 31 Tahun 2004 yang terkesan penuh dengan tekanan asing.
Karena pada UNCLOS 1982, Pasal 62 ayat (2) tidak menyebutkan pemberian kesempatan untuk memanfaatkan jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) sebagai suatu kewajiban, dimana pada versi bahasa Inggrisnya menggunakan kata “shall” bukannya “must”. Artinya bahwa kata “shall” lebih mencerminkan “kemurahan hati” (good faith), sementara “must” adalah “hak” (right) yang harus dipenuhi. Ironisnya kata “shall” yang tertuang pada Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982 dimaknai oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu kewajiban. Kata “kewajiban” ini terdapat pada Pasal 9 ayat (2) UU No. 9 Tahun 1985 dan Pasal 29 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004.
Kedua, kebijakan dimasa lalu seperti usaha patungan (joint venture),  beli angsur (purchase on instalment) dan lisensi (license), penuh dengan “permainan” dalam mengendalikan kapal ikan asing. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.5/Men/2008, yang substansinya tentang Pola Usaha Perikanan Tangkap Terpadu dan Usaha Perikanan Tangkap Berbasis Klaster (meliputi keterpaduan kegiatan usaha pengangkapan ikan dan Unit Pengolahan Ikan/UPI) diharapkan mampu mengatasi permasalahan investasi kapal ikan asing di Indonesia. Hanya saja perusahaan asing sering menunda pendirian industri pengolahan sampai ada bukti bahwa tangkapannya berhasil. Ini memicu kecurigaan bahwa pihak asing hanya akan “mengakali” Indonesia dalam soal perijinan kapal ikan asing.

2.2 Globalisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan wujud “kesadaran” dunia internasional terhadap makin menurunnya sumber daya perikanan dunia. 48 persen stok ikan dunia sudah dieksloitasi penuh (fully exploited), 16 persen sudah mengalami gejala tangkap lebih (over-exploited) dan 9 persen terkuras (depleted). FAO menyebutkan 30 persen penangkapan ikan bersifat merusak. Kondisi ini menuntut komitmen semua negara dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sehingga tercipta perikanan yang berkelanjutan.
            United Nation convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 banyak memberikan arahan mengenai bagaimana sebaiknya lautan dikelola, salah satu klausul dalam upaya pemanfaatan sumberdaya hayati, negara pantai memiliki kewajiban hukum untuk menjamin bahwa sumberdaya hayati di ZEE-nya, dilindungi dari kegiatan eksploitasi berlebih dan perlu menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang dihasilkan dari kajian ilmiah terbaik. Sedangkan di laut lepas (high sea) pasal 116 mengatur bahwa semua negara mempunyai hak yang sama atas sumberdaya ikan, namun kebebasan itu dibatasi oleh (1) kewajiban berdasarkan perjanjian internasional, (2) kewajiban ketetapan pengaturan spesifik spesies yang bermigrasi sebagaimana dituangkan pada pasal 63 sampai 67, serta (3) ketetapan pada bagian ini untuk perikanan di laut lepas.
Meskipun UNCLOS 1982 telah mengatur pengelolaan perikanan di laut lepas, pengaturan tersebut dihadapkan pada tidak adanya kerangka kelembagaan yang efektif yang memiliki kewenangan dalam menerapkan tindakan pemaksaan terhadap setiap negara untuk melaksanakan langkah-langkah pengelolaan, Oleh karena itu dalam rangka mengatasi masalah tersebut maka dibentuk Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) sesuai dengan FAO Compliance Agreement 1993 yang merupakan hukum internasional yang mengikat (legally binding).  Adapun tujuannya adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan tindakan-tindakan pengelolaan dan konservasi sumberdaya hayati laut.
Pembentukan RFMO mulai berkembang sejak tahun 1960-an dengan didasarkan sifat ikan yang selalu bergerak (bermigrasi) dan melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Sehingga kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan di suatu negara  dapat menyebabkan kerusakan/kepunahan ikan di negara lain. Hingga saat ini telah terdapat berbagai organisasi regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya pada perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Dan hampir seluruh wilayah perairan di dunia ini telah diatur oleh organisasi tersebut. Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait dengan pertimbangan geografis negara yang bersangkutan, tetapi lebih pada diwilayah tempat suatu negara melakukan aktifitas penangkapan ikan
RFMO yang terbentuk di daerah laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). IOTC  merupakan institusi regional yang berwenang mengatur penangkapan ikan tuna dan sejenisnya di perairan Samudara Hindia dan sekitarnya. Di luar wilayah perairan Indonesia yang berdampingan dengan kawasan pasifik  terdapat  The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang mengatur penangkapan ikan tuna sirip biru. Sedangkan negara-negara pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah, serta negara-negara yang menangkap ikan disekitarnya membentuk Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC) yang mengatur  penangkapan ikan yang bermigrasi jauh. 
Dari RFMO tersebut terlihat keseriusan Indonesia pada kancah internasional dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab yang dicerminkan dengan keanggotaan penuh (full member) yang disandang Indonesia pada IOTC dan CCSBT, serta cooperating non- member pada WCPFC.

2.3 Globalisasi Perdagangan Perikanan
Beberapa aspek penting menyangkut globalisasi perdagangan perikanan adalah hambatan tarif dan nontarif, subsidi perikanan, serta ecolabeling. Pengaturan terhadap aspek-aspek tersebut akan memberikan dampak langsung terhadap sektor perikanan.  Tarif merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh negara untuk melindungi produk dalam negeri dari arus barang-barang impor. Namun seiring dengan kuatnya doktrin perdagangan bebas yang diusung WTO, tarif dinilai sebagai hambatan dalam perdagangan sehingga tuntutan penurunan tarif semakin kuat.
Mengenai hambatan non tarif, ada dua kesepakatan di dalam WTO yang mengaturnya,  yaitu Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) terkait dengan penerapan keamanan pangan baik untuk hewani maupun nabati. Dan Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) yang mengatur kegunaan dari syarat teknis untuk menjamin tidak terjadinya hambatan impor. Pada prakteknya bagi negara berkembang seperti Indonesia tidak sulit untuk mengikuti aturan SPS/TBT dalam mempertahankan mutu produk. Namun diskriminasi dalam perdagangan perikanan itu tidak banyak terjadi pada aspek mutu produk melainkan dari segi harga dimana negara-negara maju melakukan diskriminasi harga dalam pasar internasional.
Sedangkan subsidi perikanan, banyak negara menerapkannya. Bagi negara berkembang subsidi  dipertahankan untuk mendorong peningkatan produktifitas perikanannya, begitu juga dengan Indonesia dimana subsidi untuk menunjang program pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan tujuan sosial lainnya. Sementara negara-negara maju justru melakukan kebijakan proteksi tersebut untuk alasan kebijakan strategis. Kepentingan negara-negara tersebut sangat bertolak belakang dengan keinginan WTO yang mengusung perdagangan bebas dimana WTO menginginkan eliminasi subsidi perikanan. Dan subsidi dipandang sebagai pendorong eksploitasi perikanan yang membuat overcapacity dan overfishing.  
Meningkatnya permintaan terhadap produk-produk perikanan mendorong diaturnya sertifikasi produk atau ecolabeling. Permintaan terhadap produk-produk tersebut telah berkembang di negara-negara maju karena preferensi konsumen internasional mengingingkan terjaminnya sumberdaya ikan serta perdagangan perikanan yang berkelanjutan (suistainable fish trade).  Permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah adanya kesulitan dalam mengimplementasikan aturan ecolabeling untuk produk-produk perikanan. Salah satunya disebabkan kebijakan keamanan pangan, dan kesadaran konsumen yang masih rendah, serta penanganan pasca panen untuk produk perikanan yang tidak dilengkapi teknologi pasca panen yang baik dan infrastruktur yang kurang. Sehingga hanya 40 persen dari ikan hasil tangkapan yang dapat diekspor (memiliki  grade A).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
Globalisasi perdagangan merupakan aspek yang menjadi momok bagi negara-negara berkembang, dalam hal ini masalahnya tidak hanya dengan WTO tetapi juga dengan negara maju yang menerapkan hambatan-hambatan perdagangan. Saat ini pengelolaan sumberdaya perikanan serta pemasaran produk perikanan telah masuk rezim pengelolaan global. Permasalahannya adalah kepentingan mana yang menghegemoni sehingga aturan yang berlaku akan lebih mengakomodasi kepentingan pihak tersebut. Dalam hal ini kepentingan negara maju terasa lebih dominan sehingga menekan kepentingan negara berkembang dan terbelakang.

3. Pesisir dalam Makna Geografis
Wilayah pesisir, dalam pendefinisiannya baik dari sudut pandang politik, sosial, ekonomi, budaya dan literatur sain memiliki makna berbeda. Dalam untaian historis mengenai cara pandang pesisir, kita menemukan banyak hal yang mengemuka dalam dongeng/folklore yang berkembang sepanjang peradaban kita. Cara pandang terhadap wilayah pesisir, tentu sangat erat terkait dengan cara pandang terhadap perairan (-baca laut-)[6]. Demikian pula dalam babad sejarah mengenai perpindahan kerajaan-kerajaan dari pesisir ke arah pedalaman[7].
Memandang kawasan pesisir secara utuh, dibutuhkan perangkat analisa yang tidak saja meletakkan kawasan pesisir dalam makna fisik saja. Pesisir, secara definitif dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Definisi berdasar UU masih memandang pesisir sebagai wilayah yang dimaknai secara fisik saja, meskipun secara implisit, teks UU diatas makna perbatasan. Konteks baca sosio-spasial perbatasan inilah yang sering luput dari perhatian, sehingga sudut pandang pemaknaan wilayah pesisir direduksi dalam pengertian-pengertian yang cenderung mengasumsikan sama dengan kawasan daratan.
            Menguatnya isu pesisir, baik dalam pemahaman di tingkatan global dan lokal merujuk isu lingkungan/perubahan iklim, ekonomi, politik, dan budaya telah memberikan signifikansi perhatian pada kawasan ini. Namun konteks perhatian pada kawasan pesisir inilah yang perlu mendapat kritisi secara mendalam. Pertentangan cara pandang terhadap kawasan pesisir sebagai ”materi” property right  atau common pool ressources[8] menjadi bagian penting dalam diskursus mengelola kawasan ini. Pada pemahaman antrophocentris[9], tentu sudut pandang kegunaan diletakkan pada kepentingan manusia. Pendekatan valuasi lingkungan menjadi pilihan dalam me-valuasi apa yang dianggap merugikan dan menguntungkan bagi kepentingan yang hadir pada kawasan ini.
            Etika (-lingkungan-), sebagai instrumen yang dipakai dalam pendekatan pengelolaan kawasan pesisir mungkin menjadi salah satu pilihan, namun kuatnya desakakan strategi developmentalism menghadirkan rangkaian turunan sistem yang menjadi mata rantai kawasan menjadi lebih rentan. Istilah ”reklamasi pantai”, coastal development, ”pengelolaan wilayah pantai” menjadi sangat jamak dalam bahasan, dan konsep-konsep ini dominan merujuk pada idiologi antroposentrisme. Model ”pengelolaan” pesisir selama ini mengabaikan konteks sosio-ekonomi-kultural. Akibat cara pandang ini, maka pendekatan regulasi, ekonomis, sosial dan kultural menjadi berbeda. Alhasil pengabaian terhadap komunitas pesisir acapkali menimbulkan pertentangan. Kembali merujuk pada konsepsi common pool ressources, yang barang tentu berimplikasi pada efek tragedy of commons[10], dimana jika kita tidak ”mengelolanya” maka pihak lain yang akan melakukan.
            Bias pihak yang mengelola secara definitif positif menjadi palang pintu besar bagi komunitas rentan ini. Diundangkannya UU No. 27 Tahun 2007[11],  tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, seakan mempertegas bagaimana kawasan ini dipandang hanya dari sudut antroposentrisme, lebih parah lagi, konsepsi pengelolaan pesisir dalam UU seolah olah membuat kawasan ini laksana kertas kosong yang dapat digambar, dihapus, ditambah, dikurangi dan di citrakan menurut nilai-nilai ekonomis belaka.
            [12]Isu pokok dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, adalah bagaimana model pengelolaan yang disebut HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) memberikan kesempatan luas bagi pemilik modal besar serta pihak asing untuk menguasai dan berpotensi dominan dalam pengusahaannya, serta periode pengusahaan yang cukup lama (lebih dari 15 tahun). Kecenderungan ini merupakan ruang yang sangat mungkin dipergunakan sebagai argumen yuridis untuk melakukan penggusuran ataupun penghilangan paksa komunitas pesisir. Relokasi ini barang tentu juga memiliki implikasi pada hilangnya hak-hak ekonomi, politik, budaya dan sosial komunitas pesisir[13].
            Belajar dari pengalaman atas konsep HPH pada pengelolaan hutan, justru menuai kerugian (tanah longsor, penggundulan hutan, illegal & over logging), maka sangat tidak rasional pendekatan HP3 menjadi pilihan yang akan “menyetarakan” nelayan tradisional dengan pemilik modal besar. Implikasi lainnya adalah bagaimana keberlangsungan biofisik dan populasi flora fauna serta sistem kompleks keunikan ekologi pesisir menjadi berubah/terdekonstruksi. Dalam pandangan inilah, kawasan pesisir tidak dapat diabaikan dan hanya dituangkan dalam definisi-definisi positif saja. Asumsi pengaruh-pengaruh yang muncul sebagai implikasi model yang menafikkan aspek karakter pesisir ( yang selama ini hanya berlandaskan pada cara pandang “daratan”) dapat menghadirkan pertentangan baru bagaimana HP3 dapat berimplikasi pada perairan wilayah dan wilayah-wilayah perbatasan lainnya.


Kata Kunci : Ekonomi-Politik, Perikanan, Pesisir, HP3


[1] Environmental Governance Reconsidered Challenges, Choices and Opportunities. 2004. Robert F. Durant, et all (ed). MIT Press. London.England.
[2] Arif Satria, dkk. 2009. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia?. IPB Press
[3] Mubyarto, dkk. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Jakarta: Rajawali.
[4] Aliansi Manado & Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menantang Hasil WOC-CTI, Nelayan Tradisional     Bersatu Menghadapi Krisis Kelautan & Perubahan Iklim  2009.
[5] The Cove Movie. 2009.Case of Taiji. www.opsociety.org
[6] Sebut saja konsepsi Mandala oleh Genghis Khan 1162 - 18 Agustus 1227, yang memandang pesisir/laut bukan sebagai basis kekuatan sosio-ekonomi-politik dan budaya, demikian pula pada era Dinasti Yuan sebagai keturunan klan ini (Kubilai Khan 23 September 1215 - 18 Februari 1294) gagal dalam ekspansi berbasis pesisir/laut ( dua kali serangan ke Jepang 1274 & 1281; dan tanah Jawa/kerajaan Singosari tahun 1293). Disarikan dari buku karangan Pramoedya Ananta Toer. 2007. Jalan Raya Pos Jalan Daendels. Lentera Dipantara
[7] Runtuhnya kerajaan Demak, munculnya kerajaan Pajang (1549), disusul berdirinya Mataram Islam (1588) dengan penguasa besarnya Sultan Agung yang berusaha menjauhkan ekonomi-politik pesisir; penyerangan pelabuhan Surabaya, munculnya dongeng tentang larangan memakai baju/warna hijau di pesisir selatan, konteks ini dapat dipahami sebagai bentuk resistensi terhadap penetrasi VOC (belanda) yang mulai merambah tanah Jawa, sedangkan seragam VOC sendiri adalah hijau, sehingga dalam hal ini perlu adanya doktrin idiologis untuk beralih pada konsepsi feodum. Disarikan dari buku karangan Pramoedya Ananta Toer. 2007. Jalan Raya Pos Jalan Daendels. Lentera Dipantara
[8] Environmental Governance Reconsidered Challenges, Choices and Opportunities. 2004. Robert F. Durant, et all (ed). MIT Press. London.England.
[9] Etika Lingkungan Hidup. 2002. A. Sonny Keraf. Penerbit Buku Kompas.
[10] Environmental Governance Reconsidered Challenges, Choices and Opportunities. 2004. Robert F. Durant, et all (ed). MIT Press. London.England
[11] Disetujui oleh DPR RI pada tanggal 26 Juni 2007 oleh DPR RI dan disahkan oleh Pemerintah RI melalui Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84
[12] Sebelum wacana atas HP3, terdapat diskursus mengenai interprestasi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Banyak pihak yang mempertanyakan tentang wilayah otonomi terkait area penangkapan ikan, sementara peraturan pelaksanaan dari UU tersebut belum ada. Sehingga penguasaan wilayah perairan ditafsirkan sebagai bentuk pengkavlingan laut. Tidak saja terjadi konflik vertical antara nelayan-pemerintah Sedang pada tingkat nelayan telah menimbulkan konflik horisontal yang amat tajam.
[13] Terdaftar dengan nomor perkara 3/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan langkah konstitusional pertama yang dipergunakan komunitas pesisir dan nelayan tradisional

Naskah Pengantar Diskusi Terbatas di Kompas Jateng 30 Nov 2010
(Bagian dari proses penelitian, Perikanan & Kawasan Pesisir Pantai oleh tim kecil Komunitas Drijarkara Semarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar