Minggu, 19 Juni 2011

Refleksi Medio Juni


Teruntuk Romo, Ibu, Mbak, Mas, dan para sahabat...(Yohanes Thianika Budiarsa, mahasiswa UNDIP-Fisip-Komunikasi-2005)
Setelah beberapa hari merasakan berlimpahnya kebaikan, saya sangat merindukan kesempatan untuk bertemu agar dapat dengan tulus mengucapkan terima kasih yang begitu dalam. Namun, rupanya kesempatan itu harus dinanti dengan kesabaran, karena keterpisahan jarak yang membuat perjumpaan menjadi begitu mahal. Meski demikian, rasa bahagia yang masih terngiang-ngiang benar-benar saya sadari sebagai campur tangan dari sekian banyak orang, terutama Anda! Di malam purnama keempat ini, saya mengambil waktu untuk
diam barang sejenak dan merenung-renungkan, kemudian menulisnya dalam sebuah surat elektronik. Semoga deretan kata-kata ini menjadi bermakna dan mewakili ungkapan rasa terima kasih serta bentuk penghargaan saya kepada Anda secara pribadi. Saya menamai sepucuk surat ini: ‘REFLEKSI MEDIO JUNI’.

Pembuka
9 Juni yang lalu saya maknai sebagai sebuah peristiwa istimewa. Akhirnya, saya boleh berpakaian putih hitam, berdiri di hadapan para penguji, dan mempertanggungjawabkan karya skripsi. Yang ingin dimaknai bukanlah kemegahan diri hingga boleh menerima tawaran sidang terbuka, tetapi proses selama 5 bulan yang boleh saya lewati hingga pertengahan tahun 2011 ini. Saya memetik tiga buah refleksi yang saya maknai dari torehan peristiwa bulan Januari hingga Juni.

Tombol SADAR
Keinginan untuk segera menyelesaikan kuliah sesegera mungkin mendorong saya untuk menyelesaikan skripsi dengan cara bermartabat dan perhitungan yang optimal. Saya mencoba mengingat-ingat bagaimana proses itu terjadi, mulai dari pendaftaran skripsi pasca proposal, penyelesaian bab 1, berjibaku dalam penelitian dengan 18 orang informan, hingga menyelesaikan bab 3 dan 4 dalam kondisi adrenalin yang selalu terpacu.
                Dari pengalaman kemarin saya menemukan sebuah dimensi kesadaran yang membuat saya tetap semangat meski harus berjerih lelah, memantapkan diri untuk melakukan sesuatu yang lebih dan bernilai positif, serta semakin dekat dengan Sang Pemilik Masa Depan. Itulah keluaran dari ‘tombol SADAR ‘. Mengaktifkan ‘tombol SADAR ‘ membuat saya mau mengalahkan rasa malas untuk datang ke kampus minimal tiga kali dalam seminggu, rutin membuka folder “proyek masa depan” dari PC tua berprosesor celeron yang begitu setia, mengetik-membaca-mengedit-mengetik-membaca dan begitu seterusnya berulang-ulang, serta bangun pagi untuk misa di gereja. Mau memencet ‘tombol SADAR ‘ juga membuat hidup saya lima bulan terakhir ini menjadi lebih bahagia, terjadi keseimbangan karenanya.  Aspek sanctitas, sanitas, dan scientia sungguh boleh terpenuhi.
                Saya benar-benar bersyukur atas kesadaran yang boleh terjaga hingga saat ini. Proyek masa depan pada etape ini sudah paripurna. Namun, di depan masih ada impian lain yang perlu diraih. Maka, sambil mengheningkan cipta saya memantapkan diri untuk tidak lupa memencet ‘tombol SADAR ‘ itu dan mengajak Anda juga melakukannya. Dengan demikian bukan hanya saya saja yang boleh merasakan kebahagiaan selanjutnya.
               
“Saya telah Menerima Banyak”
Di tengah kepenatan memfokuskan diri untuk menyelesaikan skripsi ada begitu banyak pemberian yang saya terima dari Anda sekalian. Ada panjatan doa, ada tegur sapa yang sarat dukungan, ada pemberian materi, ada kebaikan hati yang berwujud kerelaan berbagi, ada kesediaan menemani, ada peluangan waktu untuk berdiskusi, ada bantuan finansial, ada kesabaran untuk menjawab setiap pertanyaan, dan ada telinga untuk mendengarkan. Itu semua saya peroleh dari Anda, orang-orang yang saya anggap begitu berjasa. Untuk itu semua saya ingin berucap: “Terima kasih.”
                Buah refleksi ini menyadarkan bahwa saya harus rela untuk semakin banyak memberi. Saya sudah menerima dengan cuma-cuma, karenanya saya pun akan memberi dengan cuma-cuma. Kalau harus mengunyah buah refleksi ini agar semakin konkret, saya selalu bertanya dalam hati. “Berapa besar hitungan nominal rejeki yang saya peroleh: diajak makan tanpa harus membayar, menerima pemberian pakaian, menerima bantuan uang penyelesaian skripsi, menerima pinjaman buku, referensi skripsi dan banyak lagi?”. Masih ada pemberian yang bersifat non materi: “ada bantuan dari 18 orang berjasa yang mau menjadi informan skripsi, ada kesediaan untuk menjadi teman diskusi teori dan metodologi, ada pinjaman buku, referensi, dan alat perekam, ada bantuan menemani wawancara, dan masih banyak lagi.”
                Merefleksikan arti memberi membuat saya selalu berada pada titik syukur hingga menuju syukur lagi. Bersyukur karena telah diberi dan bersyukur apabila boleh memberi.

“Modal Sosial”
Baru saja saya menatap lagi dokumentasi saat sidang skripsi 9 Juni. Ada wajah-wajah yang hadir di ruangan sidang, memberikan dukungan yang tidak terbayar. Saya sungguh bersyukur boleh mengenal mereka! Di sudut dimensi ruang yang lain saya juga boleh bahagia karenanya. Ada banyak pesan singkat yang berisi dukungan masuk ke inbox, ada tulisan di dinding facebook yang memompakan semangat, serta kicauan di akun twitter yang membuat saya melupakan degupan jantung yang semakin kencang.
                Saya menjadi semakin sadar bahwa berelasi secara tulus, hidup berkomunitas untuk saling mengembangkan, serta membangun komunikasi personal yang jujur adalah sebuah modal sosial. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus menghadapi ujian terbuka seorang diri saja, tanpa dukungan dari Anda sekalian! Untuk selanjutnya, ketika saya harus berpindah ke arena yang lain dan menemui wajah-wajah yang baru saya ingin berjanji untuk tidak akan lupa pada siapa saja yang pernah mendukung saya.
                Modal sosial tidak diperoleh secara serta merta. Merawat modal sosial berarti pula mau mendukung, mau memaafkan, mau megucapkan terima kasih, dan tidak gengsi mengakui kesalahan. Dari refleksi saya, seseorang yang memiliki modal sosial – ia diterima dengan senang hati sebagai bagian dari komunitas, orang lain merasa nyaman berinteraksi dengan dirinya, dan kehadirannya selalu dirindukan.

Penutup
Tahun 2011 masih bersisa lebih kurang 182 hari. Saya ingin berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar Anda sekalian selalu diberi limpahan rahmat kesehatan dan kesejahteraan. Semoga hari-hari ke depan boleh kita lewati dengan penuh harapan dan gembira.
                Sekali lagi saya tidak pernah bosan mengucapkan terima kasih untuk setiap pemberian yang memampukan saya melewati satu etape ini. Dengan tulus hati saya juga memohon maaf atas segala hal yang tidak berkenan di hati.
               



ditemani gemericik air dan cerahnya langit malam ini,
ditulis di Semarang, pada 18 Juni 2011 0:37


salam hormat,
Yohanes Thianika Budiarsa

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar