Senin, 25 April 2011

Beriman Berarti Terlibat Belajar Memahami Gagagan Mgr. Soegijapranata, SJ berdasarkan Surat Gembala antara tahun 1953-1960

4 Juli 2008, oleh Dhoni Hermoko
Betapa Beratnya Pekerjaan Memulai-Sebuah Pengantar
1.            Spontan bila berpendapat tentang tugas awal yang diemban oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ saya berkesan, “Sungguh berat pekerjaan memulai itu”. Tentu saja berat karena
langkah awal sedikit banyak menentukan langkah-langkah dan gerak berikutnya. Gagasan di awal menjadi starting point yang penting dalam menemukan jiwa dan roh yang akan dihembuskan dan terus akan bertiup dan berkembang sepanjang masa. Beliau harus mengawali sejarah baru dalam Vikariat Apostolik. Dan sejarah itu akan diteruskan oleh penggembala-penggembala berikutnya dan bergerak ke depan. Karena itu, paling tidak start awal haruslah tepat karena akan memberi inspirasi yang mendalam dan memunculkan inspirasi-inspirasi berikutnya yang mengarahkan pada model kehidupan Gereja. Apalagi, Gereja saat itu masih tergolong Gereja muda.
2.            Sebagai awal, gagasan dasar model kehidupan umat dan berarti model kehidupan Vikariat, menjadi sangat penting. Dasar yang tepat harus diletakkan sehingga modal dasar itu menjadi makin hidup dan berkembang. Keuntungannya, Vikaris pertama adalah bumi putera yang tentu sedikit banyak mengenal jiwa dan alam pikir umat setempat. Dan terlebih Beliau bukan berasal dari keluarga katolik. Soegijapranata, seorang imam Yesuit yang memiliki visi ke depan yang kuat.
3.            Visi ke depan yang kuat salah satunya tampak ketika berkarya di paroki Bintaran, tepatnya satu tahun setelah kembali ke Indonesia -setelah menerima tahbisan imamat tahun 1931 dan menjalani masa tersiat di Drongen Belgia (1931-1933). Beliau mempraktekkan salah satu langkah pastoral dalam mengembangkan paroki yang dihasilkan dalam konferensi tentang perkembangan pastoral Umat Katolik di Yogyakarta pada tanggal 22 September 1934[1], yaitu dengan membangun kelompok-kelompok kecil di paroki yang sekarang sering diistilahkan dengan Lingkungan atau Kring. Dipikirkan bahwa keterlibatan itu terwujud dalam pembentukan wilayah-wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang Jawa yang bersemangat yang dibantu oleh kaum muda. Tidak hanya berhenti di sana saja, gagasan itu kemudian dipraktekkan dengan di Paroki Bintaran bersama dengan Rm. Harjosoewanda, SJ yang berkarya di Wedi[2].
4.            Pekerjaan besar itu dimulai secara resmi menjadi sebuah gerakan Vikariat ketika Constitutio Vetus de batavia tetanggal 25 Juni 1940 dari Paus Pius XII tentang pendirian Vikariat Apostolik Semarang itu muncul dan dilanjutkan dengan keputusan untuk mentahbiskan Rm. Albertus Soegijapranata, SJ sebagai Vikaris Apostolik Semarang[3]. Begitu menerima perutusan itu, Beliau sadar bahwa Beliau tidak sekedar memimpin sebuah Vikariat tetapi memimpin Vikariat yang mempersiapkan berdirinya hierarki katolik pribumi yang kuat di tengah suasana yang tidak menentu bagi seluruh Bangsa Indonesia. Situasi peperangan dan yang membawa penderitaan bagi seluruh bangsa dan tentu juga bagi umatnya. Memanfaatkan suasana yang tidak menguntungkan untuk membangun! Mengubah kutuk menjadi berkat! Di sinilah kebrilianan dan ketelatenan Beliau menjadi modal penting bagi Vikariat dan seluruh umat.
5.            Tulisan singkat ini akan mencoba membahas dan merefleksikan langkah Beliau dalam mengajak umat untuk terlibat membangun hierarki pribumi berdasarkan surat-surat Gembala Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ berbahasa Jawa antara tahun 1953-1960 yang dimuat dalam mingguan Praba sejauh saya menemukannya[4].

Membangun Kesadaran atas Pengalaman untuk Ber-laku
6.            Pada tahun 1953,  dalam Nawala Dalem 9 Februari 1953 menyambut dua belas setengah tahun Vikariat Semarang sekaligus memperingati duabelas setengah tahun ditahbiskan sebagai Vikaris, Mgr. Soegija mengajak umat berefleksi tentang perjalanan kehidupan Gereja Vikariat Semarang selama duabelas setengah tahun sejak berdirinya. Selama itu Gereja (umat Allah) Vikariat Semarang mengalami masa percobaan yang sangat berat tetapi sekaligus menjadi kesempatan yang mirunggan  untuk mengalami pendampingan Allah.
7.            Refleksi itu dimulai dengan melihat situasi selama dua belas setengah tahun pertama secara ringkas namun mendalam. Beliau menggambarkan situasinya sebagai berikut:

“. . . Ing dalem rolas setengah tahun kang kapungkur iki awake dèwè kerep nyipati kahanan kang muta watiri. Petjahing perang donya kang kapindo nuwuhaké reribed lan rubeda kanggo golongane dèwè. Saksuwènè bala-tantra Djepang ngedjé tanah Djawa, umat katolik Vikariat Semarang kapeksa ngrasakaké panas perih, ngelu mules lan pait getiring ngaurip.Sandang-pangan ing saben dinané nemoni éwuh pakéwuh. Gèsèhing butuh lan rasa dadi luwih ketara lan agawé gendra.Sangga-runggi lan wedi mbubrah sesrawungan. Pekumpulan-pekumpulan Katolik pada dibubaraké. Organisasi Katolik dibujaraké. Golongan Katolik kena ing panjakra bawa lan pandakwa sing ora-ora lan njedihaké. Ana ing ngendi-endi ditjurigani lan disudjanani. Pasamuan Sutji kang asipat supranasional tegesé ngungkuli bangsa, dianggep anti nasional utawa mungsuh bangsa. Jejasan Katolik kang perlu kaya déné pamardi panggulawentah ditjegah. Gedong-gedong Misi sakisiné didaku lan dianggep baranging mungsuh. Rama-Rama, para Broeder, lan Zuster bangsa Walanda pada diungsèkaké mung marga bangsa Walanda. Rumah Sakit ana sawetara kang kapeksa diasta ing Pameréntah.
      Marga seling surup lan kurang ngertiné, ora setitik tjatjahé sadulur Katolik kang banjur ngrasa tintrim, kelara-lara, wedi lan melas asih. Sarèhné kekurangan pamong jiwa, pangibadah lan pangabdi marang Gusti Allah dadi kendo. Malah sawetara ana kang rusak lan tiwas sukmané, marga kalindih ing patjoban”[5].

8.            Situasinya sungguh tidak menguntungkan karena segala sesuatu yang berguna bagi pelayanan umat, entah bangunan entah para pelayannya bahkan pelayanan bagi masyarakat yang dilakukan oleh Gereja tidak dipercaya ketulusannya. Akibatnya bisa diduga. Ada orang yang ketakutan sehingga jatuh dalam kecemasan dan menyebabkan imannya kendo ada juga yang berhasil keluar. Ketika mengungkapkan orang yang jatuh ini, beliau tidak menyalahkan tetapi mengajak umat untuk sadar bahwa mereka yang jatuh itu tidak dapat disalahkan begitu saja. Keadaan membuat iman yang masih hijau itu menjadi layu.
9.            Sementara, kepada orang yang berhasil dan masih bertahan, Mgr. Soegija mengajak umat untuk menyadari bahwa semua itu tidak dapat lepas dari pertolongan dan penyertaan Allah. Allah senantiasa menyertai. “Saja nggegirisi bebajané saya mumpuni pitulungan Dalem, lan saja mempeng pandjangkung Dalem[6] Karena itu, yang penting ucapan syukur atas penyertaan Allah.
10.        Dengan cara itu umat diajak untuk memahami situasi Gereja secara konkret sehingga imbang dalam melihat keadaan dan pada puncaknya mampu untuk mengucapkan syukur atas penyertaan Allah dalam keadaan untung dan malang. Itulah pokok yang pertama.

 “Saka panemuku, atur panuwun kang gawé renané Gusti Allah ija iku, enggonku pada rumangsa begdja marga wis diluwaraké saka ing pepeteng lan dipapanaké  ana ing pepadang. Mulané pama pada ngertia marang pangkat dradjatmu, enggonmu wos dadi umating Widi, lan pada pinutra Ing Gusti Allah. Sipada uripa nunggal raket supeket karo Sang Kristus, krana Sang Kristus lan lantaran Sang Kristus, amrih sutjinug awakmu déwé, amrih luhuring Gusti Allah lan kaslametané bangsa manungsa”.

11.        Pokok yang kedua, adalah ajakan kepada umat untuk menempatkan posisi Gereja yang meng-atasi persoalan berkaitan dengan nasionalisme kendati telah mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan itu. Gereja itu supranasional dan tidak dibatasi oleh bangsa, negara atau bahkan golongan. Gereja itu universal, maka kekeliruan yang terjadi dalam cara orang non Katolik memandang Gereja perlu dimaafkan sebagai tindak Gereja yang senantiasa murah hati. Gereja itu hadir untuk semua orang!
12.        Pokok ketiga yang tampak dalam nawala ini adalah situasi konkret berkaitan dengan siapa saja para pelayan umat itu. Pelayan umat itu terdiri dari para misionaris dan orang-orang pribumi sendiri serta seluruh umat. Peran para misionaris tidak perlu diragukan lagi bahwa mereka setia dalam membangun dan melayani umat melewati masa-masa yang tidak mengenakkan bahkan harus menderita karena kehendak melayaninya. Dan tidak beliau lupakan keterlibatan umat selama masa penderitaan itu juga besar lelabetané.
13.        Pada bagian akhir nawala ini Beliau mengajak umat untuk membangun keterlibatan yang menyeluruh.

“ Sing sapa kepéngin mbangun lan nganjaraké djagad miturut Sang Kristus, kudu wiwit saka awaké déwé. Nanging bebarengan djadjar karo enggonku pada ndandani lan ngapikaké wong lija adedasar keadilan, kamanungsan, sarta katresnan kang murni, kang asalé saka Gusti Allah lan ngraketaké karo Gusti Allah”.

Keterlibatan itu rupanya berarti membangun bersama dengan orang lain. Keterlibatan serta merta bukan pertama-tama sebagai tindakan untuk membangun orang lain, tetapi berarti bergerak bersama orang lain untuk menuju pada Allah sendiri.
14.        Kiranya ada tiga kelompok yang disentuh berkaitan dengan membangunan Gereja dalam nawala itu, yaitu para misionaris, imam-suster-bruder pribumi dan seluruh umat yang dengan kekuatannya masing-masing mengabdikan diri bagi Gereja di masa yang sangat sulit.

Hierarki Katolik bisa madeg jejeg . . . .
15.        Dalam Nawala ing Mangsa Pasa  tahun 1956, Mgr. Albertus Soegijapranata menegaskan  tentang jati diri hierarki katolik bahwa :

“Wruhanamu Hierarki Katolik iku bisane madeg djedjeg mung ana ing saduwuré tlasah kang kukuh, jaiku masjarakat Katolik kang sentosa mungguh ing piandel lan kawruhé mungguh ing kasusilan sarta karohanèné, apa maneh mungguh ing banda radja-darbé, arta ilmu, ekonomi, organisasi lan papan-lungguhé ana ing tanahé. Déné kang dibutuhaké minangka dadi dasaré Hierarki , kang bésuk kudu madeg ana ing tanah kéné, jaiku masyarakat Katolik kang njarambahi sakèhing lapisan kaya déné kantja buruh, tani, kriya, punggawa manéka warna, ahli kartijaya, para djuragan dagang lan sudagar. Masjarakat Katolik kang njangga  Hierarki iku kudu masjarakat sing uwis siwasa, kang bisa mentas déwé, kang pana marang kuwadjibané lan tetanggungané ing ngatasé kawulaning Nagara lan warganing Pasamuwan Sutji” [7].

16.        Di dalam kutipan yang berbicara tentang dasar hierarki itu terdapat dua pokok utama yang menjadi sangat penting bagi kehidupan hierarki pribumi pérangané Pasamuwan Sutji. Pertama, hierarki pribumi itu berarti hierarki yang berdiri di atas kekuatannya sendiri, yaitu masyarakat katolik setempat yang kuat iman dan kepercayaannya, yang kuat dalam pengetahuan akan iman dan moral dan yang menggunakan segala kekayaannya (termasuk sumber daya manusia, pengetahuan, kekuatan ekonomi) untuk mengembangkan Gereja. Kedua, Hierarki pribumi akan menjadi kuat bila berdiri di atas pondasi umat yang dewasa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, berkembang, dan sadar atas tanggungjawab di tengah negara (masyarakat) dan Gereja.
17.        Tentu yang menarik di sini adalah bahwa hierarki pribumi itu salah satunya didasari oleh  kesadaran  atas tanggungjawab umat terhadap negara (masyarakat) dan Gereja. Mengapa

harus keduanya? Rupanya, Mgr. Soegija hendak mengajak umat bahwa Gereja Indonesia itu merupakan bagian dari negara Indonesia. Ini tidak pernah bisa dipisahkan. Kesadaran atas tanggungjawab umat dalam membangun Gereja tidak-bisa-tidak harus ditempatkan dalam kerangka membangun negara. Langkah untuk membangun Gereja merupakan tindak membangun masyarakat. Dengan kata lain langkah itu harus selaras dalam membangun masyarakat. Dengan demikian, Gereja itu diletakkan dalam kenyataan masyarakat yang konkret sehingga menjadi sungguh-sungguh Gereja Katolik Indonesia, dan bukan Gereja Karolik yang diadopsi dari Roma begitu saja. Pada tataran selanjutnya merupakan murid Yesus yang asli Indonesia.
18.        Pada bagian selanjutnya dalam nawala itu Beliau juga menegaskan perlunya keterlibatan umat awam –yang Beliau sebut dengan sadulur lumrah :

“Para pangarep lan panuntun poma sing rata anggèné ngedum pakarjan marang para kantja nunggal sabregada tur kanthi éklasing penggalih, senadjan isih lestantun nggapé lan ngaruhaké. Malah sarupaning pagawéjan lan tindakan kang kena kapasrahaké marang sadulur lumrah, prajoga kapasrahna marang sadulur lumrah mau, supaja pada mèlu nanggung kaleksanané”.

19.        Rupanya dengan ungkapan ini, Mgr. Soegija menegaskan bahwa keterlibatan itu awam itu berarti ambil bagian dalam tugas, yaitu melaksanakan tugas pekerjaan dan pengabdian kaum berjubah serta menanggung pelaksanaannya, mulai dari memikirkan hingga menyelesaikannya. Tentu saja, Beliau menegaskan bahwa itu semua sejauh memungkinkan awam terlibat dalam pelayanan itu.
20.        Pada bagian selanjutnya, yang sungguh mengesankan Mgr. Soegija menyapa kaum muda untuk terlibat entah sebagai pelayan-menjadi kaum berjubah atau juga sebagai awam. Kata kuncinya adalah nggulawentah awaké déwé kanthi tegel lan wekel, runtut karo watak wantuné, gawan-gawané”.
21.        Dan kepada orang tua, dalam rangka membangun Gereja khas Indonesia adalah ajakan untuk mendidik anak-anak dengan cara katolik dan Nasional. Arahnya, iman dan jasmani itu tidak hanya berkembang untuk Gereja sendiri tetapi secara utuh juga berkembang dan membangun negara.
22.        Dengan demikian secara signifikan berkaitan dengan hierarki pribumi atau Gereja khas Indonesia adalah tersusun atas kaum berjubah dan awam di mana mereka keterlibatan itu berarti saling ambil bagian dan juga selaras dengan posisi masing-masing[8], melampaui batas perbedaan derajat dan perbedaan pekerjaan, tersusun atas anak-anak, kaum muda dan orang tua, dan didasarkan atas kedewasaan yang utuh sebagai anggota Gereja dan sekaligus warga masyarakat.

Paroki Dimekarkan- Sebuah Langkah Konkret

23.        Gagasan itu pembentukan hierarki pribumi yang melibatkan itu tampak sekali dalam pidato Amanat Pembukaan oleh Paduka yang Mulia Rama Kanjeng A. Soegijapranata, SJ dalam Musjawarah Sosial Ekonomi Wilayah Vikariat Semarang untuk Buruh dan Tani di Mertoyudan Magelang.

Andaikata menurut rencananya Vikariat, tiap-tiap paroki dan stasi dibagi-bagi dalam daerah-daerah, kring-kring, blok-blok atau kerabat-kerabat, masing-masing mempunyai pengurus sendiri-sendiri, yang aktif dan sadar akan kewajibannya, yang diterima dengan suka rela dan murah hati; andaikata pengurus-pengurus blok-blok itu kadang-kadang bermusyawarah dengan gembalanya; andaikata ketua pengurus-pengurus itu bersama-sama dengan Yayasan Gereja dan Papa Miskin, yang diketuai oleh Pastornya, merupakan Dewan Paroki atau setasi untuk memperhatikan dan merundingkan kepentingan lembaga Katolik setempat, barangkali akan mudahlah diadakannya pembagian pekerjaan yang serasi dan masuk akal. Dengan demikian ada harapan bahwa para gembala tak usah timbul tenggelam dalam pekerjaannya, yang sebagian dapat diambil alih oleh domba-domba dan anak-anaknya, sehingga umat Katolik menaruh minat kepada keadaan hidup saudara-saudaranya sebudi dan sehati dalam Kristus. Puncak pimpinan tetap tinggal di tangan gembala Paroki atau setasi, akan tetapi dalam melaksanakannya hendaknya mengindahkan dan mempergunakan sumbangan pikiran dan tenaga dari Dewan Parokinya. Segala sesuatu hendaknya berlangsung dengan menghormati dan menjunjung tinggi rahasia keluarga dan kemerdekaan angan-angan hati perseorangan[9].

24.        Pembentukan blok-blok atau kring-kring ini menjadi rencana yang saya kira merupakan langkah yang paling konkret dari Mgr. Soegija sehingga membuat umat yang terlibat. Dalam kelompok-kelompok teritorial kecil ini, umat dimungkinkan semakin aktif terlibat membangun kehidupan bersama sebagai komunitas iman sekaligus sebagai bagian masyarakat. Gerak ini oleh Mgr. Soegija ditempatkan dalam kerangka membangun Vikariat Semarang yang mencirikan Gereja Katolik khas Indonesia.
25.        Dengan model seperti ini, rupanya Mgr. Soegija mengarahkan pada model Gereja yang dinamis di mana para gembalanya dan seluruh umat bahu membahu membangun kehidupan bersama. Umat tidak menjadi penonton Gereja (menonton diri sendiri?) tetapi menjadi penopang Gereja bersama dengan para gembalanya. Pada tataran yang lebih jauh, terjadi komunikasi yang saling memperkaya sehingga Gereja menjadi semakin tegas sebagai umat Allah yang bergerak terus menerus dalam membangun kehidupannya. Dinamika itu akan terjadi bila musyawarah antara gembala dan umatnya berlangsung dalam sebuah kesadaran akan perlunya tanggungjawab.
26.        Selanjutnya, yang terjadi adalah langkah untuk membuat Gereja menjadi hidup, bukan saja karena dinamika yang terjadi dalam dirinya sendiri tetapi juga dinamika itu mengenai orang lain yang secara konkret di sekitar Gereja yang sebenarnya merupakan saudaranya sendiri dalam masyarakat. Dinamika Gereja akan menjadi semakin terasa konkret karena Gereja tidak memposisikan diri jauh dari masyarakat tetapi mau terlibat dalam masyarakat.

Refleksi Akhir . . . .
27.        Sungguh, ketika mau ikut seminar ini -sebenarnya juga dalam seminar yang lalu dan mungkin seminar yang akan datang-, saya bertanya, seminarnya mau di bawa ke mana. Tetapi sungguh bersyukur karena yang saya dalami saat ini menjadi konkret bagi saya sebagai seorang calon imam diosesan.
28.        Pertama, sungguh, gagasan yang sekarang ini rupanya masih sering dianggap gagasan baru bukanlah murni baru. Yang dipikirkan oleh Mgr. Soegija, bahkan jauh sebelum menjadi Vikaris, menjadi buktinya.
29.        Kedua, ketika mempelajari ini, wawasan saya bertambah soal yang disebut hierarki pribumi dan gagasan Gereja Katolik khas Indonesia. Ketika Mgr. Soegija berbicara tentang hierarki ternyata beliau tidak sekedar berbicara tentang kepemimpinan dalam arti yang sempit. Beliau berpikir jauh lebih maju dengan menempatkan hierarki dalam kerangka kepemimpinan kristiani –kalau dalam istilah sekarang- yaitu keterlibatan seluruh umat. Hierarki pribumi berarti keterlibatan seluruh umat dalam menanggung kehidupan Gerejanya. Hierarki menjadi sungguh-sungguh hidup kalau umatnya karena imannya bergerak untuk hidup ke masa yang akan datang.
30.        Dan sungguh menarik, kehidupan gagasan keterlibatan itu ditempatkan dalam kerangka kehidupan yang lebih luas bagi Gereja Katolik yang konkret berada di dalam lingkup suatu masyarakat. Gereja Katolik Indonesia berada dalam masyarakat Indonesia. Saya kira dan kiranya benar, pemikiran ini mendahului pemikiran Gereja Universal yang muncul dalam konsili Vatikan II tentang Gereja dan dunia (GS 1) dan keterlibatan kaum awam (LG). Gereja hanya bisa hidup dan menjadi konkret kalau sungguh-sungguh berdiri di atas tanahnya sendiri secara mandiri, yaitu umat katolik secara umum dan masyarakat di sekitarnya.
31.        Dan akhirnya, bagi saya sekarang, panggilan yang paling nyata dalam beriman adalah membangun Gereja yang khas Indonesia, yaitu Gereja yang hidup di alam Indonesia dengan berbagai persoalan dan kekayaan yang sedemikian plural. Ini bukan langkah politik yang penuh impian tetapi Gereja yang berpolitik yang berarti Gereja yang berefleksi, sadar dan tahu akan jati dirinya di mana ia berada.Persoalannya, bagaimana langkah konkret itu terwujud kendati kadang-kadang harus bertentangan dengan aturan. Saya kira, orang yang mencari bentuk lebih akan mengalami perjumpaan dengan Yesus secara konkret daripada sekedar ikut arus umum demi menjadi yang disebut harmoni yang sebenarnya semu belaka. Iman menjadi hidup dengan perbuatan kendati dalam perbuatan bisa saja mengalami kekeliruan. Tetapi saya kira kekeliruan dalam belajar itu hal yang tidak dapat disalahkan begitu saja asal tetap terbuka pada Allah dan sesama.
32.        Akhir kata, terima kasih atas bolehnya saya berguru kepada Alm. Mgr. Soegija yang senantiasa berpikir ke depan agar Gereja menjadi medan perjumpaan dengan Yesus Kristus yang konkret.
33.        Sekian.




[1]       Kimman, SJ, Eduard, Sejarah Singkat Mulainya Kring atau Paroki, Umat Baru, Tahun 1978.
        Memang, dalam pertemuan itu tidak hanya berkaitan dengan keadaan paroki saja yang dibicarakan tetapi juga dibicarakan soal cara berdoa yang njawani, soal bacaan-bacaan katolik, pastoral untuk kaum muda, pastoral untuk baptisan baru, persoalan berkaitan perkawinan, terjemahan Injil dalam bahasa Jawa.
[2]       Dijkstra, J., “SJ Mgr. Soegijapranata SJ Penganjur Komunitas Kecil/Lingkungan”, dalam Buku Kenangan Peringatan 25 tahun wafatnya Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, hal. 13-14.
[3]       Tim KAS, Garis-garis Besar Sejarah Katolik Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Semarang, 1991, hal. 67
[4]       Dalam hal ini saya menempatkan gagasan hierarki pribumi selaras dengan gagasan membangun Gereja khas Indonesia.
[5]       Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ,Nawala Dalem Paduka Rama Kangdjeng 9 Pebruari 1953, Praba, 20 Februari 1953, hal. 37
[6]       Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, Ibid.
[7]       Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ,Nawala ing Mangsa Pasa 20 Pebruari 1956, hal. 37-39
[8]       Hal ini juga Mgr. Soegija tegaskan dalam “Ana ngendi dunungé katentreman” Nawala Tumanggap ing Mangsa Pasa, Praba, 5 Maret 1957. “Tata tentrem iku dumadiné  manawa mubarang kabéh lan sidji-sdjiné kang pada lan kang béda-béda pada oleh papan panggonan lan wewenangé déwé- déwé kaja samestiné.
[9]       Dikutip dari Amanat Pembukaan oleh Paduka yang Mulia Rama Kanjeng A. Soegijapranata, SJ dalam Musjawarah Sosial Ekonomi Wilayah Vikariat Semarang untuk Buruh dan Tani di Mertoyudan Magelang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar