Rabu, 27 April 2011

Budaya Membaca, Apa Untungnya Bagi Mahasiswa?

Julius Dies Respati, Unika Soegijapranata F.Psi 2004

Logikanya, apabila budaya membaca diterapkan  di kalangan mahasiswa, perpustakaan atau toko buku menjadi penuh sesak. Sementara, ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi media mahasiswa untuk menyelesaikan tugas perkembangannya justru menjadi sepi.  Kalau demikian,
bukannya justru dengan membaca, mahasiswa justru tidak dapat menyelesaikan tugas perkembangannya sebagai seorang remaja?

***

Isu minimnya budaya membaca di kalangan mahasiswa sering diangkat menjadi isu keprihatinan bersama. Mereka yang disebut-sebut sebagai kalangan intelektual muda ini justru terus dipojokkan karena tidak mau membudayakan dirinya untuk selalu membaca. Sejak tahun 2001, kesalahan mahasiswa yang tidak mau membudayakan budaya membaca sudah mulai ditunjukkan di ranah publik. Kepala UPT Perpustakaan Institut Pertanian Bogor Abdul Rahman Saleh secara terang-terangan mengecam mahasiswa yang jarang masuk ke perpustakaan. Pada Koran Republika (tertanggal 18 Juni 2001), ia mengaku bahwa mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan yang dikelolanya berkurang 10 persen dari total populasi mahasiswa. Dalam sebuah buletin komunitas (buletin SADAR) tertanggal 22 Oktober 2008, Eka Pangulimara juga menyalahkan mahasiswa yang ‘menomersekiankan’ kegiatan membaca. Memang apa untungnya membaca bagi mahasiswa?

Membaca, Transfer Pengetahuan dan Pemikiran yang Sistematis
Kalau dilihat secara fisik, membaca merupakan kegiatan yang mengefektifkan mata untuk memperhatikan huruf atau angka yang tertulis dalam suatu media tertentu, dan otak untuk melakukan koordinasi ke beberapa anggota tubuh supaya kondisi konsentrasi tetap terjaga. Ketika otak mengkoordinasikan serangkaian perintah untuk tetap berkonsentrasi, kedua kaki tidak dalam kondisi aktif. Gerakan-gerakan pun tidak banyak dilakukan, selain menggerakkan jari untuk membuka halaman kertas (atau mengklik mouse, kalau sedang membaca artikel di internet),  dan telinga yang sedikit bekerja supaya musik klasik tetap mengiringi konsentrasi membaca.
Ketika atau bahkan sesudah membaca, transfer ilmu pengetahuan yang lebih bersifat teori pastinya sangat terasa. Apapun medianya, informasi, pengetahuan atau bahkan wacana dari penulis dapat disampaikan secara detail kepada pembaca-pembacanya. Ketika membaca, pembaca terstimulus untuk mempunyai pola pikir yang sistematis. Mengapa demikian? Pemikiran yang sistematis akan terpola karena pada hakekatnya penulis mempunyai etika menulis yang sistematis. (Diawali oleh kata pembuka, pendahuluan, permasalahan, pembahasan atau isi, dan kesimpulan).

Membaca, Berkurangnya Relasi
Meski demikian menguntungkan, kegiatan membaca ternyata memaksa seseorang mahasiswa untuk mengurangi waktu bermain atau berinteraksi dengan orang lain. Dari sini terlihat jelas karena kegiatan membaca lebih cenderung bersifat individual. Mengingat kebutuhan akan konsentrasi sangat berpengaruh
Padahal kalau dilihat lebih dalam, mahasiswa yang masih tergolong remaja ini juga harus melewati tugas-tugas perkembangannya yang tidak kalah berat, seperti misalnya tugas membina relasi, baik yang relasi interpersonal maupun relasi formal institusi. Bila seseorang gagal melewati tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya, maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi suatu masalah pada diri seseorang tersebut.
Dalam buku psikologi perkembangannya, Hurlock menyebutkan bahwa mahasiswa dalam masa remajanya berada pada masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.
Mereka mempunyai tugas-tugas perkembangan yang tidak kalah berat dengan pekerjaan rumah yang selalu dibebankan setiap harinya.  Pertama, mahasiswa atau remaja harus dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif.  Akhirnya, ketika sebagian besar mahasiswa tidak dapat menerima keadaan fisiknya, mereka cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu.
Kedua, mahasiswa atau remaja mendapat tugas untuk memperoleh kebebasan emosional dari orangtua. Oleh sebab itu, logis apabila mahasiswa cenderung sebagai orang yang tidak bisa diatur dan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah.
Ketiga, mahasiswa sebagai seorang remaja harus mengetahui dan menerima kemampuan sendiri. Sehingga yang sering terjadi adalah bermunculan acara-acara yang ditujukan untuk menyadari atau menggali potensi karena banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Hal ini terbukti ketika mereka ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya.
Keempat, mahasiswa sebagai seorang remaja diberi tugas untuk memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma. Skala nilai dan norma yang dimaksud biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti siapakah "aku" ?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dorongan dalam dirinya. Atau dengan kata lain, mahasiswa juga harus membentuk jati dirinya sendiri.
Terakhir, (nah ini yang penting), mahasiswa sebagai seorang remaja harus mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin Pada masa remaja, seorang mahasiswa sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini. Ada sebagaian besar remaja yang tetap tidak berani bergaul dengan lawan jenisnya sampai akhir usia remaja. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakmatangan dalam tugas perkembangan remaja tersebut.
Dengan demikian, mahasiswa perlu mempunyai waktu lebih untuk membina hubungan dengan orang lain. Ketika kegiatan membaca sudah membudaya, maka ada kemungkinan tugas perkembangan untuk menjalin relasi tidak mungkin mendapat nilai A, atau bahkan hanya mendapat nilai B/C. Bisa dibayangkan, kalau dari 24 jam, 8 jam untuk beristirahat, 2 jam untuk menikmati santapan (3xsehari), 2 jam berada di atas jok kendaraan, 1 jam untuk mandi, 6 jam untuk duduk di bangku kelas (asumsi sehari ada 3 mata kuliah), maka hanya tersisa 5 jam yang kosong. Kalau seandainya waktu kosong tersebut diisi dengan nongkrong di pinggiran Jalan Pahlawan, nampak jelas jumlah waktu untuk bergaul tetap lebih sedikit daripada waktu di dalam kelas (yang notabenenya banyak aktivitas  yang menstimulus mahasiswa untuk membaca). Kalau seandainya budaya membaca mulai dibangun, maka waktu kosong itu akan terpakai untuk membaca dan semakin banyak mahasiswa yang mendapat julukan ‘si kutu buku’.

Penutup
Lalu apakah seorang mahasiswa tidak usah membaca buku? (karena dengan membaca, mahasiswa tidak mampu menyelesaikan tugas perkembangannya). Tetapi kalau seorang tidak membudayakan gemar membaca, apakah dia layak disebut sebagai seorang akademisi atau intelektual muda?
Ya sekali lagi, jawaban yang paling tepat adalah ‘tergantung dari diri masing-masing’. Kalau Anda lebih memilih sebagai seorang teoritis yang pintar akademis tetapi tidak pintar bergaul, maka Anda pantas membudayakan budaya gemar membaca. Tetapi kalau Anda lebih memilih sebagai seorang praktisi yang pintar di lapangan tetapi agak lemah untuk urusan teori, Anda sebaiknya kontra untuk gerakan gemar membaca.
 

 
tulisan ini pernah dimuat di abuletin Radix edisi I bulan Nov 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar