Rabu, 27 April 2011

Inspirasi Kecil tentang Kecintaan Membaca

Yohanes Thianika Budiarsa, UNDIP FISIP Komunikasi 2005
Membaca sewajarnya menjadi aktivitas yang dekat dengan para mahasiswa. Kuliah menuntut kekayaan wacana dan wawasan yang mendorong saya dan teman-teman sekalian untuk semakin dekat dengan buku serta beraneka referensi penunjang lainnya. Informasi surat kabar, majalah, atau artikel dari internet merupakan sumber yang sering kita akses dan menjadi bahan bacaan untuk memperkaya khasanah pengetahuan. Namun, apakah kita benar-benar
sudah mempunyai kebiasaan membaca? Jangan-jangan bahan bacaan tadi menjadi akrab bagi kita ketika terdesak untuk merampungkan tugas kuliah saja?

Kaum Muda ’Tempo Doeloe’ yang Menginspirasi
Ada banyak tokoh mahasiswa yang namanya sudah terukir oleh sejarah. Perjuangan mereka terbukti sudah menciptakan perubahan bagi negeri ini. Sebut saja Soe Hok Gie yang pada era 1966 begitu teguh pada prinsip berjuang lewat penanya. Atau Auwjong Peng Koen yang kemudian lebih dikenal PK. Ojong dengan perjuangannya menyuarakan persamaan hak bagi masyarakat Tiong Hoa. Pada 1954, PK Ojong bersama Siauw Giok Tjhan, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan dan Oei Tjoe Tat tergabung dalam Baperki yang fokus memperjuangkan hak masyarakat Tiong Hoa di Indonesia.

Kita juga pasti masih ingat detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan bangsa ini. Tanggal 16 Agustus tokoh-tokoh muda kita mengambil insiatif untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Padahal satu minggu sebelum proklamasi kemerdekaan, tanggal 9 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr. Radjiman Wediodiningrat singgah ke Taiping yang terletak di Semenanjung Malaya. Di Taiping mereka mengadakan pertemuan dengan para pemimpin gerakan kebangsaan Melayu untuk membicarakan upaya persiapan kemerdekaan. Dan mereka bersepakat untuk menyatakan kemerdekaan bangsa pada tanggal 22 Agustus 1945. Namun, atas desakan teman-teman muda waktu itu, akhirnya proklamasi kemerdekaan dinyatakan lebih awal dari kesepakatan sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Mereka, kaum muda serta mahasiswa pada zaman itu telah menorehkan sejarah perjuangan. Sumbangan mereka bagi negeri ini sangatlah besar. Yang terutama bagi mahasiswa masa kini adalah inspirasi dan nilai keteladanan yang mereka wariskan. Dalam kondisi yang serba menghimpit, dengan penuh semangat Soe Hok Gie, Auwjong Peng Koen, dan teman-teman era 45 berjuang membuat sebuah perubahan ke arah lebih baik.

Kaum muda ’tempo doeloe’ sangat sensitif dengan permasalahan kebangsaan. Dari hari ke hari mereka semakin menyadari bahwa modal utama untuk membebaskan Indonesia dari tangan penjajah adalah kekayaan pengetahuan. Mulailah bermunculan intelektual-intelektual muda yang begitu getol mempelajari sejarah kelam masa lalu Indonesia serta berbagai pengetahuan yang sebelumnya terpendam bagai harta karun. Mereka mulai mencintai kebiasaan membaca, berargumen baik secara lisan maupun tertulis, serta menajamkan gagasan lewat diskusi. Itu semua digerakkan oleh sebuah cita-cita luhur yakni menuju alam kemerdekaan.

Kebiasaan membaca semakin memperkaya isi kepala para intelektual muda ‘tempo doeloe’ dengan berbagai perspektif tentang perjuangan pembebasan Indonesia. Kekayaan pengetahuan dan gagasan itu pun mendorong mereka untuk berbagi dengan yang lain. Banyak terbitan surat kabar mulai berdiri. Salah satunya adalah koran Keng Po yang berdiri pada tahun 1945. Waktu itu pemimpin redaksi terbitan ini adalah Injo Beng Goat yang kemudian menjadi teman akrab PK. Ojong. Keng Po sempat ditutup karena dirasa terlalu frontal menentang Jepang. Namun, pada 2 Januari 1947 hidup kembali dan semakin setia menajamkan wacana kritis masyarakat era itu dengan semangat perjuangan.

Selain terbitan koran Keng Po, lahir pula terbitan majalah mingguan Star Weekly pada 6 Januari 1946. Pada awal terbitnya, majalah ini dipimpin oleh Tan Hian Lay. Kemudian Auwjong Peng Koen semakin terlibat membesarkan majalah mingguan tersebut. Auwjong menunjukkan dedikasi yang tinggi pada majalah ini. Ia juga merupakan sosok yang sangat gemar membaca, karenanya kemudian ia dipercaya sebagai redaktur pelaksana Star Weekly.

Terkait kebiasaan membaca Auwjong, Helen Ishwara dalam Hidup Sederhana Berpikir Mulia PK. Ojong, berkisah banyak. “Buku catatan harian Auwjong penuh judul buku, tanggal, dan harga pembeliannya. Ia rajin menjelajahi toko buku, buku baru atau pun bekas. Kalau menginap di Bandung, di rumah sahabatnya semasa di HCK, Liem Boen Tik, ia bukan hanya senang nongkrong makan sate di kota sejuk ini, tetapi juga tidak lupa pergi ke pasar loak, tempat buku-buku bekas digelar.” Ojong benar-benar mencintai buku.

Belajar dari Mereka
Mahasiswa masa ini – saya dan teman-teman sekalian, agaknya perlu banyak belajar dari sosok seperti PK. Ojong, Injo Beng Goat, Soe Hok Gie, serta tokoh-tokoh muda Rengasdengklok. Mereka tampil sebagai kaum muda yang memiliki intelectual habits. Ojong dan Injo adalah pemimpin redaksi yang kaya wawasan karena mereka berdua sama-sama kutu buku. Gagasan mereka diikuti oleh banyak orang. Soe Hok Gie dan tokoh muda Rengasdengklok juga patut diteladani. Mereka memiliki keteguhan prinsip. Sangat gemar menajamkan gagasan lewat diskusi dan punya kepercayaan diri untuk berargumen.

Di zaman ini pun muncul sosok pahlawan intektual yang begitu getol menyebarkan virus gemar membaca. Dari sebuah artikel di harian KOMPAS, edisi 8 November 2008 saya menemukan kutipan seperti ini: “Saya tidak akan pernah berhenti mengajak bangsaku untuk gemar membaca agar menjadi bangsa yang cerdas supaya kelak dapat menyelesaikan persoalan bangsa.” Itulah pernyataan Parmanto, lelaki berusia 62 tahun yang berkomitmen mengajak sebanyak-banyaknya orang agar mempunyai kebiasaan membaca.

Mantan pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah itu, sejak tahun 2005 mengusahakan pendirian taman bacaan umum. Ia merelakan salah satu rumahnya untuk diisi 2000 koleksi buku berupa komik, novel, buku pelajaran, dan bahan skripsi dan menamainya “Taman Bacaan Mortir Parmanto.” Mula-mula taman bacaan yang berlokasi di Jalan  Meranti Timur Dalam I/346, Banyumanik, Semarang tersebut setiap hari didatangi oleh 20-30 pengunjung. Namun, kini jumlah pengunjung mulai berkurang, hanya sekitar 10 orang saja setiap harinya dan sebagian besar adalah siswa Sekolah Dasar.

Itulah sekelumit cerita dari figur seorang Parmanto yang mewakili para pecinta buku dan sadar akan arti penting membaca. Parmanto tidak menyimpan sendiri kekayaan khasanah pengetahuannya. Ia ingin berbagi dengan orang lain, mengajak sebanyak-banyaknya teman, tetangga dan para kerabat untuk mulai gemar membaca.  

Semoga, mahasiswa zaman ini – saya dan teman-teman sekalian semakin menyadari arti penting membaca. Paradigma membaca buku sekedar untuk menyelesaikan tugas kuliah terkikislah sudah. Mari kita amini buku sebagai sumber kekayaan ilmu. Semakin memperdalam isi kepala kita, menambah wacana dan gagasan untuk berargumen serta memantapkan pribadi para mahasiswa sebagai calon intelektual muda masa ini. Itu semua lahir dari sebuah kesetiaan untuk mau duduk berdiam beberapa lama sembari mengunyah harta di dalam sebuah sumber bacaan – apa pun itu wujudnya.
pernah menjadi Ketua PRMK F. FISIP UNDIP
tulisan ini pernah dimuat di abuletin Radix edisi II bulan Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar