Selasa, 26 April 2011

Kaum Muda dan Pestaphoria; Sudah Biasa

Hery Hyang Daika, Unika Soegijapranata FH

    Kesenangan dan foya-foya, siapa sih yang tidak mau itu?? Bila ditanya satu persatu pada kaum muda kita dewasa ini tentang apakah mereka suka akan hal-hal yang seperti itu, mungkin kita akan mendapatkan angka persentase yang cukup mengagetkan tentang hal tersebut mengingat
pestaphoria dalam arti sempit yaitu foya-foya, sangat kontras sekali terlihat dalam kehidupan masyarakat kita dijaman serba modern ini, apalagi Indonesia dikenal oleh negara-negara luar sebagai negara yang komsumtif yang terlihat pada banjirnya produk-produk buatan luar negeri yang bentuknya bermacam-macam yang sangat mudah kita temukan dipasar atau pusat perbelanjaan lainnya dan sangat laku keras dipasaran sehingga banyak mematikan indsutri dalam negeri karena tak mampu bersaing.
    Dalam topik ini, penulis tidak membahas tentang mengapa kaum muda khususnya kaum muda Katolik yang “mungkin” saja juga termasuk kedalam kelompok yang hobi akan pestaphoria dan foya-foya atau membahas mengenai produk luar negeri yang laku keras dipasaran. Namun lebih kepada bagaimana sebaiknya kita menyikapi sikap kita yang hobi akan pestaphoria itu. Dalam hal ini, penulis juga merasa dan sadar bahwa penulis sendiripun sejujurnya tak bisa lari dari kenyataan itu dan juga mengalaminya, dengan bersikap objektif maka akan lebih terbuka untuk saling merefleksi tentang hobinya anak muda khususnya kaum muda Katolik akan pestaphoria dan foya-foya.
    Mengingat akan potret kemiskinan bangsa ini yang sepertinya sulit untuk dihapuskan dimana dibeberapa daerah atau pelosok negri ini masih banyak terdapat para balita yang busung lapar atau kasus lain yang berkaitan dengan kemiskinan dan di bandingkan dengan sikap foya-foya itu tadi, sungguh ironis sekali rasanya bila memperbandingkannya dimana kita hidup dengan berkecukupan dan tanpa kekurangan sementara anak bangsa ini lainnya harus menerima dengan ikhlas hati tentang kondisi yang sangat memprihatinkan.
    Kita mungkin bisa saja berkata bahwa “salahnya mereka sendiri, kenapa mereka mau hidup miskin” atau mungkin kita juga bisa berkata “peduli amat, emang gue pikirin.” Percaya atau tidak, sikap seperti inilah yang membuat jurang pemisah akan kelas sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat kita semakin dalam dan mungkin saja tak kan pernah terselami, dimana dengan pola pikir yang seperti itu kemudian secara tidak langsung akan membentuk karakter kita untuk kemudian tidak akan pernah mau peduli dengan kondisi lingkungan sosial disekitar kita.
    Setelah kita mencoba menguak akan realita dan berbagai kasus diatas yang meskipun tidak terlalu konkrit tertulis disitu, lalu kemudian muncul lagi pertanyaan untuk menggugah kita sebagai kaum muda Katolik, dimana kaum muda Katolik saat ini? Tidak kah kita melihat akan realita yang benar-benar terjadi ataukah sengaja menyamarkan pandangan sehingga seolah-olah tak melihat itu sebagai sebuah bentuk kenyataan pahit akan realitas yang ada?? saya kira, berdasarkan pengamatan saya selama ini, jujur saja, sebagian besar dari kita sebagai kaum muda Katolik lebih condong pada pendapat yang kedua dimana bentuk nyata kepedulian kita akan lingkungan sosial seolah tersamarkan dengan kesenangan, pestaphoria dan foya-foya.
    Agak sulit memang untuk membuktikannya tetapi coba saja untuk sejenak berkaca dan merefleksi akan hal itu, benarkah kita, secara individu sebagai kaum muda Katolik benar telah menyamarkan kondisi itu dan kita sengaja membiarkan atau cenderung tak mau tau dan tak mau ambil pusing akan kenyataan yang ada?? Jawabannya ada pada diri anda sendiri, dimana pada saat anda membaca artikel ini anda bisa menemukan jawabannya seketika dengan melihat kebelakang akan apa yang telah anda lakukan dalam menyikapi persoalan ini.
    Pertanyaan lainnya kemudian muncul. Apa yang bisa kita perbuat sebagai kaum muda Katolik dalam menyikapi hal tersebut?? Paling tidak, itulah pertanyaan yang mungkin akan muncul berkenaan dengan pokok bahasan dalam artikel ini. Dalam hal ini penulis memang tidak akan memberikan suatu solusi mengenai apa yang harus kita perbuat sebagai kaum muda Katolik dan melalui cara ini diharapkan para rekan-rekan kaum muda Katolik sekalian bisa berfikir positif dan kreatif mengenai bagaimana caranya menyikapi permasalahn itu, dan diharapakan juga, kaum muda Katolik tidak kemudian lalu berdiam diri karena merasa tidak tau atau tidak menemukan cara bagaimana bersikap atau menyikapi akan kondisi realitas lingkungan sosial yang sejatinya sangat memerlukan uluran tangan dan bantuan dari kita semua secara umum, terlepas itu kaum muda Katolik sendiri maupun kaum muda lainnya.
    Hal ini kemudian tidak lalu menimbulkan anggapan bahwa menjadi beban tersendiri yang “sengaja” diberikan dan yang “harus” dipikul oleh kaum muda Katolik sebagai suatu golongan agamis, namun lebih kepada bagaimana implementasi/perwujudan nyata dari pesan atau ajaran Tuhan kita Yesus Kristus yang selalu menekankan dan mengajarkan tentang ajaran Cinta Kasih. Tuhan memang pengasih, lalu bagaimana dengan kita sendiri??
    Mungkin, kita juga masuk kedalam golongan orang yang “pengasih” dalam artian selama ini hanya sebatas mengasihi orang yang dikenal saja, seperti pacar dan sanak keluarga serta teman sejawat saja . Namun pernahkah kita “mengasihi” orang yang benar-benar tidak kita kenal dan layak untuk dikasihi dan mewujudkan kasih itu kedalam bentuk real?? Saya yakin dengan sangat diantara kita pasti pernah, namun kalau hanya sebatas kasihan saja menurut saya itu sama saja tanpa ada perbuatan yang dilakukan.
    Para rekan kaum muda Katolik sekalian mungkin masih ingat dengan cerita tentang orang Samaria yang murah hati. Melalui ilustrasi cerita itu yang mungkin masih samar-samar teringat di memori rekan-rekan semua yang pernah mendengar atau pernah tau tentang cerita itu, paling tidak memberikan sebuah pembelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya apabila dihubungkan dengan konteks kehidupan nyata kita saat ini. Ajaran-ajaran cinta kasih yang diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus memang banyak berupa perumpamaan-perumpamaan yang dimaksudkan agar lebih memudahkan kita untuk menangkap isinya atau maknanya ketimbang kita mentafsirkan sendiri secara mentah-mentah tentang ajaran Yesus Kristus yang lalu kemudian akan menghasilkan pemahaman yang berbeda antar umat Katolik sendiri tentang ajaran Yesus Kristus. Berkaitan dengan hal itu maka pantas dan layak serta sudah seharusnya rasanya apabila kita sebagai kaum muda harus benar-benar menelaah dan mengaplikasikan pesan moral tentang ajarang Cinta Kasih dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai kaum muda Katolik.

   Tulisan ini pernah dimuat di buletin Radix (WMD) edisi I bulan Nov 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar