Selasa, 26 April 2011

Wawancara Ekslusif

Wawancara dengan Andreas Pandiangan
oleh Yohanes Thianika Budiarsa, Mahasiswa UNDIP FISIP 2006
  
Ada sebuah keprihatinan dalam benak Drs Andreas Pandiangan, M.Si saat membahas tentang kaum muda Katolik. Apa dan bagaimana pendapat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah 2008-2013 ini? Simak hasil tanya jawab Radix dengannya di Kantor KPU Jawa Tengah.

Keuskupan Agung Semarang menetapkan tahun 2009 sebagai tahun kaum muda. Menurut Anda apa arti penting tahun kaum muda bagi gereja dan kaum muda itu sendiri?
Tahun 2009 fokusnya ke anak muda. Fokus tersebut bisa dimaknai macam-macam. Sebagai orang awam saya melihat Gereja menaruh perhatian pada kaum muda. Hal tersebut bisa dilihat dari dua sisi: Yang pertama sisi regenerasi konvensional bahwa anak muda harus diperhatikan karena mereka yang akan mewarnai gereja dan masyarakat di masa depan.
Kedua, adanya sebuah keprihatinan. Jangan-jangan gereja melihat
sejumlah persoalan internal yang dihadapi kaum muda dalam mewarnai gereja dan masyarakat.
Namun, saya pribadi tidak tahu persis apa yang mendasari. Keduanya mempunyai implikasi. Regenerasi konvensional berimplikasi pada sebuah ritual. Kalau tahun ini kita fokus pada anak dan remaja dan tahun depan fokus pada kaum muda, bisa jadi tahun 2010 anak dan remaja serta kaum muda tidak menjadi perhatian lagi. Menurut saya apabila hanya sebagai ritual konvensional agaknya kurang pas. Harusnya masuk pada wilayah keprihatinan terhadap persoalan dan dinamika kaum muda Katolik supaya implikasinya pada rancangan kegiatan serta bagaimana menempatkan kaum muda Katolik.
Harapannya kaum muda Katolik tidak hanya menjadi objek tetapi bisa menjadi subjek sehingga mereka bisa melihat bahwa ada persoalan yang mereka hadapi sbagaimana gereja melihat persoalan tersebut dalam diri kaum muda.

Menurut Anda gambaran situasi kaum muda dalam lingkungan kampus, gereja, dan masyarakat bagaimana?
Harus ada satu benang merah untuk melihat gambaran situasi kaum muda saat ini. Saya melihat pendidikan nilai merupakan satu hal penting. Gereja dan kaum muda Katolik seyogyanya berpijak pada satu nilai yang sama yaitu nilai-nilai Kristiani. Namun, dalam konteks kaum muda Katolik saat ini saya melihat ada kecenderungan bahwa anak-anak muda Katolik tidak memahami nilai-nilai Kristiani yang seharusnya menjadi dasar semua gerak, pikir dan tindakan mereka. Bisa jadi anak-anak muda Katolik tidak memahami arti atau nilai kegiatan liturgi misal saja saat konsekrasi. Saya khawatir jangan-jangan semua rangkaian ekaristi hanya dilakoni sebagai sebuah ritual belaka. Anak-anak muda seharusnya sudah sampai pada taraf refleksi untuk bisa memaknai apa yang mereka lakukan. Dalam masyarakat juga sama, misalnya kita berbicara tentang nasionalisme. Saya termasuk resah ketika di sekolah-sekolah Katolik mulai tidak ada upacara bendera. Karena tidak ada wadah untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, anak-anak muda cenderung kurang memaknai nasionalisme.

Berkaitan dengan situasi kaum muda saat ini, apa yang menjadi keprihatinan mendasar dan perlu dibenahi?
Anak-anak muda sekarang menjadi apolitis. Namun, mereka mengambil sikap yang salah dengan apolitis. Ketika politik dimaknai rebutan kursi sebenarnya kita masuk dalam konsep yang dulu kita tentang pada masa orde baru. Namun, sekarang kita justru mengekalkan konsep itu karena kita berpikir bahwa politik hanya urusan kursi. Padahal politik merupakan bagian hidup kita. Politik bukan hanya sekedar kursi tapi juga kebijakan. Keputusan pemerintah yang berdampak luas juga merupakan politik. Anak-anak muda sekarang terlihat alergi dengan persoalan politik padahal ada banyak persoalan yang masuk pada wilayah kita. Indikasinya, sejauh mana anak muda kita yang memberi perhatian pada berita koran, fasilitas umum yang rusak di kota Semarang, atau prihatin terhadap kondisi lingkungan hidup di Semarang? Keprihatinan-keprihatinan tersebut sebenarnya merupakan bagian dari politik. Kalau ada misa bisa ratusan anak muda yang kumpul, tapi kalau diskusi? Diskusi juga bukan melulu urusan kekuasaan.
Ada kontradiksi dalam hal ini. Gereja mengajarkan hukum cinta kasih. Memaknai cinta kasih secara konteks sosial berarti peduli kepada sesama. Namun, dalam kaca mata yang sangat sederhana saya menilai bahwa orang Katolik memaknai cinta kasih secara karikatif dan individual, tidak struktural. Bagi saya sendiri cinta kasih merupakan sesuatu yang revolusioner, membuka batas sekat saya dengan orang lain atau kelompok lain. Berarti kita harus peduli. Ketika kita peduli itu juga politik.
Selain itu, ada kecenderungan anak muda Katolik masih terjebak dalam Minority Complex Syndrome. Seharusnya syndrome tersebut sudah ditinggalkan. Idealnya merujuk pada semboyan Monseigneur Soegijapranata: “100% Katolik, 100% Indonesia.”

Selain keprihatinan tersebut, menurut Anda pencapaian atau hal baik apa yang tergambar dari situasi kaum muda saat ini?
Anak-anak muda Katolik masih mudah diikat dalam semangat Kristiani. Capaian ini seharusnya bisa menjadi modal utama untuk melakukan pembaharuan. Contoh konkretnya, ketika mengadakan misa banyak anak muda yang datang. Modal dasar ini yang seharusnya dikelola oleh anak muda sendiri dan didorong atau didukung oleh komponen umat yang lain.

Harapan Anda untuk kaum muda khususnya dalam tahun kaum muda ini?
Harapan saya untuk tahun 2009 ini ada semacam revitalisasi semua kegiatan dan organisasi anak muda entah organisasi formal maupun berbagai kelompok anak muda. Artinya, mereka kembali kepada apa yang dulu menghidupkan kaum muda. Dengan semangat revitalisasi keragaman anak-anak muda dengan begitu banyak kelompok bisa beraktivitas dan mengaktualisasikan bermacam-macam kegiatan di luar wilayah altar. Contoh, anak-anak muda Katolik bisa aktif dalam kegiatan karang taruna atau kegiatan di lingkungan RT dan RW.

Apa yang menjadi harapan Anda bagi gereja dan para pejabat gereja dalam upaya menumbuhkembangkan kaum muda?
Melalui pencanangan tahun kaum muda ini hierarki sudah menyiapkan ring atau panggung pentas. Menurut saya apa yang dilakukan hierarki atau pejabat gereja sudah maksimal, tinggal kita mau menggunakan panggung ini atau tidak. Sebetulnya hierarki juga sudah membuka diri untuk bersinergi dengan umat atau awam di luar misa. Artinya ada upaya untuk saling mengisi dan berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Kita tidak boleh terlalu berharap atau menuntut antara salah satu pihak. Tapi, harusnya kita membuka dialog dan berkomunikasi satu sama lain.

Menurut Anda tantangan yang dihadapi kaum muda Katolik saat ini?
Tantangannya, masih cukup banyak peran-peran yang ada di masyarakat yang harus diisi oleh kaum muda Katolik. Jadi, revitalisasi tidak mengarah menjadi altarsentris, sehingga kaum muda bisa mengambil peran strategis dalam masyarakat sesuai komunitasnya masing-masing.

Gerakan atau semangat pembaharuan yang seperti apa yang menurut Anda harus diwujudkan oleh kaum muda?
Pembaharuan bisa dilakukan dengan mencari dan memaknai nilai-nilai Kristiani. Proses ini berlangsung terus menerus dan tidak akan pernah selesai. Selain itu harus ada upaya aktualisasi semangat dan nilai Kristiani dalam kehidupan bermasyarakat.

Nama Lengkap :Drs Andreas Pandiangan, M.Si
Tempat & Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 22 September 1966
Alamat Tinggal : Jln. Jatingaleh III / 138 Semarang
E-mail / Blog                                   : pandiangan_9@yahoo.com
Riwayat Pendidikan : Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM 1990
Pasca Ilmu Politik FISIPOL UGM 1997
Pengalaman Organisasi       : Ketua I Senat Mahasiswa FISIPOL UGM 1987-1989
Moto Hidup                         : ”Bekerja sebagai usaha mencari kehendak Allah.”

 wawancara ini pernah dimuat di Buletin Radix (WMD) edisi I bulan Nov 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar