Selasa, 26 April 2011

Ketakutan sosial dan bagaimana kaum muda menjawabnya.

Oleh Lukas Wahyu W, UNDIP FE 2002, Pernah menjadi Ketua PMKRI Semarang

Sekarang ini kita hidup dalam sebuah negara yang dikuasai oleh rasa takut. Rasa takut ini masuk ke hampir seluruh segi-segi kehidupan, di dalam segi politik yang diberitakan di berbagai media informasi misalnya, sering kita melihat kerusuhan yang terjadi karena tidak menerima kekalahan dalam usaha untuk menjadi seorang pemimpin, pihak yang kalah akan mengerahkan massa pendukungnya dan melakukan
aksi protes yang berujung pada pengrusakan baik fasilitas umum maupun fasilitas pribadi, contoh lainnya adalah di Ponorogo ada seorang pengusaha yang mencalonkan diri menjadi calon Bupati dan gagal kemudian dia menjadi gila, dan dari sini terungkap bahwa untuk mencalonkan tersebut dia telah setor banyak uang ke partai yang mengusungnya dan setelah gagal uang itu tidak kembali, semua hartanya habis, dia bercerai dengan istrinya. Di dalam kehidupan ekonomi ketakutan juga telah masuk dimulai dari kebutuhan dasar manusia yaitu makanan, harga bahan pangam pokok sudah kita ketahui sangat mahal, sudah mahal tidak terjamin kesehatannya di televisi sering kita melihat makanan yang dicampur dengan zat-zat tertentu supaya terlihat menarik padahal zat-zat tersebut berbahaya bagi tubuh. Gagal panen juga dialami oleh petani setelah mereka menanam benih padi yang direkomendasikan pemerintah ternyata setelah tumbuh tanaman padi itu tidak berisi dan menangislah para petani itu karena hanya untuk biaya menanam dan merawat padi itu mereka sudah mengeluarkan biaya yang sangat besar, ditambah lagi waktu mereka yang terbuang sia-sia karena pada akhirnya gagal panen. Masalah ekonomi yang lain adalah lemahnya daya beli masyarakat karena banyaknya pengangguran, gaji yang sedikit, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Dua sektor telah kita selami sekarang kita masuk ke masalah- masalah sosial yang sebenarnya ada hubungannya dengan masalah ekonomi bila teman-teman naik kendaraan tepat pada saat lampu merah akan terlihat anak-anak jalanan yang mengamen, mengemis. Demikian juga kalau teman-teman pernah naik angkutan kelas ekonomi baik itu bus maupun kereta api pemandangan itu juga terlihat bahkan semakin parah, ketika saya masih SMP dulu saat hendak pergi ke Yogyakarta naik Bus ekonomi, dari semarang ke Jogya hanya ada satu orang pengamen. Tetapi sekarang hampir tiap lima menit pengamen itu selalu ada. Masalah sosial yang lain adalah gelandangan, dan kaum miskin perkotaan yang dapat kita jumpai di kota lama semarang denan standar hidup yang rendah, rumah dari terpal, dan lingkungan yang kotor. Kriminalitas yang setiap hari selalu ada dari pencurian, pembunuhan, penculikan dsb yang
bermuara pada satu hal yaitu lemahnya ekonomi.Semua masalah di atas bila hendak dicari cara untuk mengatasinya adalah pendidikan, karena di dalamnya akan di berikan kemampuan kognitif yang berguna untuk terjun di masyarakat. Tetapi rasa ketakutan itu ternyata juga telah masuk ke dalam dunia pendidikan. Yang pertama kita bahas di sini adalah sistem ujian nasional. Ujian nasional menjadi masalah tersendiri karena begitu sistem ini diterapkan siswa dan guru terutama pada saat tingkat akhir akan sangat kelelahan dibuatnya, sekolah yang seharusnya menjadi ruang belajar yang penuh dengan kegembiraan, diskusi, dan penelitian ilmiah di sihir menjadi lembaga bimbingan belajar yang setiap hari dari jam tujuh pagi sampai jam setengah dua siang kerjaannya hanya latihan mengerjakan soal. Karena baik guru dan murid akan berpendapat buat apa kita melakukan diskusi, penelitian kalau nantinya murid-murid tidak lulus. Hal ini membuat pendidikan kita hanya menekankan pada hasil bukan prosesnya. Dan setelah pengumuman kelulusan ada banyak tangisan kekecewaan dari murid yang tidak lulus dan dari guru yang sebagian besar muridnya tidak lulus, bahkan ada beberapa yang nekat bunuh diri karena tidak kuat menahan rasa malu. Coba kita lihat di Negara tetangga yaitu China, bahkan di negara komunis yang tersentralpun pada tahun 1999 telah mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan oleh ujian yang dibuat oleh biro pendidikan negara, karena pada dokumen Komisi Pendidikan Nasional China tahun 1997 menyebutkan beberapa akibat buruk dari praktek pendidikan semacam itu yaitu penekanan berlebihan pada persiapan menghadapi tes, kurangnya pendidikan moral, sosial, dan emosional, dan fisik, model pelajaran yang mengandalkan daya hafalan dan dril soal mekanis, minimnya keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar dan hilangnya kreativitas ( Benediktus Widi Nugroho, Basis juli-agustus 2008 hal 38-43). Sudah ada pengalaman dari negara maju tetapi negara kita masih nekat juga memakai sistem ini. Selain itu sudah bukan rahasia lagi bahwa biaya sekolah di Indonesia sangat mahal, kalau sudah semahal itu bagaimana rakyat miskin bisa menyekolahkan anaknya. Yang bisa sekolah hanyalah anak-anak orang kaya saja sehingga sekolah telah menciptakan makin lebarnya kesenjangan sosial yang ada ( Haryatmoko, Basis juli-agustus 2008 hal 12-22).
            Bila mempelajari sejarah setiap bangsa negara di dunia pastilah mengalami fase-fase kegelapan seperti yang dialami Indonesia, hanya saja kalau kita tidak segera melakukan tindakan bisa jadi kelak Indonesia hanya tinggal nama saja atau hilang dalam peta internasional.
            Kaum muda memiliki kekuatan fisik yang prima, juga kemampuan berfikir yang baik, apalagi mahasiswa yang dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan yang ada serta akses pada beberapa fasilitas publik yang ada, sehingga tugas untuk menghilangkan semua rasa takut yang menghinggapi Indonesia ini ada pada kaum muda. Tetapi yang jadi pertanyaan apakah generasi muda sekarang rata-rata lebih cerdas lebih suka berkorban dalam solidaritas sosial dengan yang dina dan yang termiskin dari rakyat miskin bila dibanding dengan rekan-rekan seumur mereka dulu dari generasi Soekarno-Hatta di zaman Hindia Belanda? Pertanyaan itu diungkapkan oleh almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya dalam bukunya ”merintis RI yang manusiawi”, yang tentunya kita tahu bahwa beliau tidak hanya mengkritik tanpa suatu usaha, karena keberpihakannya kepada yang miskin, lemah, tertindas sangat terlihat dalam usahanya membangun masyarakat di kali code Yogyakarta dan tinggal di tengah-tengah mereka. Artinya sebagai kaum muda minimal kita harus peka terhadap setiap permasalahan sosial yang ada, untuk kemudian menggunakan segenap kemampuannya yang dia peroleh saat pendidikan untuk membangun masyarakatnya, yang dimaksud membangun di sini bukanlah membangun berdasarkan prestasi fisik, tetapi membangun demi terciptanya keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati.


tulisan ini pernah dimuat di Buletin Radix edisi I bulan Nov 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar