Kamis, 28 April 2011

Memahami Ekspresi Keislaman Masyarakat Indonesia.



Sejenak Menelisik Warna-Warni Islam
- disarikan dari diskusi serial Wisma Mahasiswa Drijarkara, 28 April 2009 -


Selasa tanggal 28 April 2009 cuaca Kota Semarang cukup cerah. Sore itu sekitar jam 17.00, di Wisma Mahasiswa Drijarkara suasana tampak lain dari biasanya. Ketika memasuki halaman samping, berjajar puluhan motor menyambut para mahasiswa yang datang. Dan di halaman belakang tampak pemandangan yang berbeda. Sebuah
backdrop bertuliskan “Diskusi Serial Komunitas Drijarkara” terpasang di depan kapel. Demikian pula seperangkat sound system, lengkap dengan wide screen, laptop dan LCD projector tertata dengan rapi di antara sofa dan karpet yang tergelar.

Rupa-rupanya, sore itu Komunitas Wisma Mahasiswa Drijarkara hendak mengadakan sebuah diskusi. Menghadirkan Rm. Heru Prakosa, SJ yang merupakan pakar Islamologi dari FTW Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, para mahasiswa dan pegiat wisma mahasiswa ingin belajar mengenai dunia Islam. Sebuah tema menarik mereka kemas dalam rumusan Memahami Ekspresi Keislaman Masyarakat Indonesia.

Panitia telah merencanakan diskusi itu diselenggarakan di halaman belakang, dengan maksud agar tercipta suasana santai dan penuh keakraban di tengah keseriusan diskusi. Namun, tidak dinyana sebelumnya, tepat jam 17.00 ketika diskusi hendak dimulai, hujan mengguyur. Untungnya, para peserta diskusi adalah para mahasiswa. Dengan sigap dan cekatan, mereka segera mengemasi semua perlengkapan yang ada dan memindahkannya ke aula di lantai dua. Lima belas menit kemudian, semua perlengkapan telah tertata dengan rapi. Pada jam 17.16 diskusi pun dimulai.


Animo mahasiswa untuk mengikuti diskusi ini cukup besar. Sekitar 48 peserta yang terdiri dari para mahasiswa katolik adari berbagai kampus di Semarang dan beberapa pegiat wisma mahasiswa hadir untuk mengikuti diskusi. Suasana mendung dan hujan yang sempat mengguyur rupanya tidak mengurangi semangat mereka untuk berdiskusi bersama Rm. Heru dan mengupas mengenai ekspresi keislaman masyarakat Indonesia.


Lintasan Sejarah Perkembangan Islam

Tepuk tangan peserta memeriahkan suasana ketika moderator mempersilakan Rm. Heru Prakosa, SJ untuk memulai paparannya. Lulusan S3 Arabic and Islamic Studies dari Roma ini mengawali paparannya dengan menjelaskan latar belakang munculnya Islam. Rm. Heru mengatakan bahwa teologi Islam lahir dari masalah politik yang terkait dengan persoalan siapa pengganti Nabi Muhammad SAW setelah wafat.

Setelah Nabi wafat, yaitu sekitar tahun 632 M, muncul pertanyaan apakah Nabi menunjuk pengganti atau tidak. Rupanya, persoalan tersebut mengawali lahirnya tiga kelompok. Pertama adalah Sunni yang memercayai pengganti nabi bisa siapa saja yang layak, tetapi berasal dari ’lingkaran dalam’. Pada waktu itu nama yang dikenal dari aliran Sunni adalah Abu Bakr, ’Umar, Uthman, dan ’Ali. Kedua, aliran Shiah yang meyakini pengganti nabi adalah siapa yang berasal dari keluarga besar nabi, yakni ’Ali. Dan yang ketiga, aliran Khawarij, yang mana para pengikutnya percaya bahwa pengganti Nabi adalah siapa yang benar di hadapan Allah. Tokoh yang dipercayai sebagai pengganti Nabi dari aliran Khawarij ini adalah Abu Bakr dan ’Ali.

Dalam perkembangannya masing-masing kelompok menggunakan Quran sebagai semacam ayat untuk melegitimasi kepentingannya. Mereka mengambil posisi yang saling menolak satu sama lain. Akibatnya, perbedaan tersebut juga melahirkan keberagaman pandangan dalam melihat persoalan agama (red. teologis). Kemudian dalam sejarahnya, ada tiga persoalan umum yang memunculkan perdebatan dan semakin menunjukkan keanekaan aliran Islam.

Persoalan pertama terkait dengan dosa. Ada dua pendapat, (1) dosa itu persoalan iman (kafir/mukmin) atau (2) hukum (fasiq). Aliran yang muncul adalah Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah. Yang kedua, persoalan tentang perbuatan manusia: (1) antara kebebasan manusia dan (2) kekuasaan Allah. Aliran-aliran yang terlibat dalam perdebatan masalah tersebut di antaranya; Murjiah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah. Sedangkan persoalan ke tiga menyoal Allah dan SabdaNya: Apakah yang persisnya diwahyukan, bagaimana proses pewahyuan, bagaimana hubungan si pemberi wahyu dan sabda yang diwahyukan. Persoalan ke tiga ini memunculkan aliran Mu’tazilah, Hanbaliah, Asyariah, dan Maturidiah.

Berbagai aliran Islam yang lahir karena perbedaan pandangan menyangkut persolan-persoalan tadi, kemudian dapat digolongkan ke dalam 3 mazhab besar. (1) Mu’tazilah (Murjiah, Qadariah) merupakan aliran dasar Islam yang tergolong dalam Mazhab Hanafi. (2) Hanbaliah (Khawarij, Jabariah) adalah golongan Mazhab Hanbali-Maliki. Dan (3) Asyariah/Maturidiah merupakan aliran dasar Islam yang termasuk dalam golongan Mazhab Syafi’i.

Aliran-aliran Islam tersebut kemudian turut mewarnai Islam Indonesia. Diketahui bahwa warna aliran Islam Indonesia mengerucut menjadi aliran Mu’tazilah yang sangat rasional, tetapi sudah mati. Ke dua aliran Asyariah, yang secara de jure masih berpengaruh. Dan yang ke tiga adalah aliran Hanbali yang secara de facto praktiknya terjadi di Indonesia.

Perbedaan Sejarah Kristen dan Islam

Menurut sejarah, Kristen lahir sekitar tahun 30 (sesudah Yesus wafat) dan baru diakui keberadaannya setelah 300 tahun, yakni pada masa Konstantin. Sangat berbeda apabila diperbandingkan dengan Islam yang dalam waktu relatif singkat dapat menguasai Timur Tengah. Bahkan sekitar Tahun 900 M, Islam dapat menguasasi hampir separo belahan dunia. –padahal kelahirannya baru setelah Nabi wafat, yakni pada 630 M. Jadi, dalam kurun waktu 300 tahun, Islam sudah menunjukkan kejayaannya di penjuru dunia.

Itulah mengapa banyak yang beranggapan Kristen muncul dari keterpurukan sedangkan Islam muncul dari kejayaan. Selama 300 tahun, Kristen tidak dapat berbuat banyak. Dalam sejarahnya banyak terjadi pengejaran dari satu katakombe (red. kuburan) ke katakombe yang lain. Pengejaran oleh tentara Romawi menjadi cerita tentang perjuangan  bagaimana menyelamatkan iman Kristen pada masa itu.

Lain ceritanya dengan Islam. Dalam jangka waktu sekitar 30 tahun setelah Ali wafat, Islam dapat menguasai hampir seluruh jazirah Arab. Setelah itu berkuasalah Dinasti Kummayah hingga Dinasti Abasiah. Sampai tahun 750 (tidak ada 100 tahun) mereka mampu memasuki Spanyol. Kekuatan mereka semakin diakui ketika mereka berhasil menguasai Spanyol bagian selatan. Bukti sejarah itu dapat dilihat dari banyaknya peninggalan-peninggalan Islam yang dapat dijumpai di sana.

Namun, kejayaan Islam itu berujung pula pada masa keterpurukan. Dalam kaca mata akademis, keterpurukan Islam terlihat ketika pada tahun 900 terjadi perpecahan antara aliran Mu’tazilah yang rasional dengan aliran Hanbali yang merupakan aliran tradisional atau non rasional. Namun, aliran Mu’tazilah akhirnya mati, sedangkan Hanbali masih hidup sampai sekarang. Aliran Hanbali menekankan pada wahyu bukan rasional. Sedangkan Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa orang dapat memahami kitab suci karena pertama-tama dari rasio bukan wahyu. Perbedaan pandangan itulah yang secara akademis melatarbelaka kejatuhan Islam.

Dari sisi politis, dapat dikatakan bahwa Islam hancur pada tahun 1258. Sebelumnya diawali oleh meletusnya Perang Salib yang meletus karena pada waktu itu tanah suci Yerusalem direbut atau dikuasai oleh teman-teman muslim, tepatnya pada tahun 975 dan memuncak tahun 1000-an. Keterpurukan Islam semakin menjadi ketika pada tahun 1258 Orang Mongol menghancurkan Bahgdad. Pada masa itulah Islam menuju keterpurukan dan Kristen mulai dengan cerita barunya.

Mengenai Islam di  Indonesia

Keruntuhan Islam mengkristal dengan munculnya aliran yang bernama Wahabi. Wahabi yang berasal dari Arab Saudi mengusung ideologi Hanbali, atau sering disebut dengan Neo Hanbali. Mereka pernah melakukan pengrusakan pada makam Nabi di Mekah, yang dimaksudkan agar umat Islam hanya mengacu pada Allah. Sebagai negara kaya, Arab Saudi memberi bantuan (red. donasi) kepada negara-negara lain sehingga negara yang mendapat bantuan tersebut mau tidak mau menganut paham Wahabi. Aliran Wahabi pertama masuk di Indonesia tercermin pada sosok Imam Bonjol yang kita kenal dalam Perang Paderi.

Berbicara mengenai Islam di Indonesia, ada beberapa kategorisasi yang ditemukan oleh para ahli. Di antaranya kategorisasi yang dilakukan oleh tokoh non Muslim dan terwakili oleh Federspiel. Federspiel membagi Islam di Indonesia menjadi empat kategori, yaitu: (1) ulama, (2) revitalist, (3) akademisi, dan (4) intelektual kemasyarakatan.

Kategorisasi lain dilakukan oleh dua tokoh Muslim Indonesia, yakni Munawar-Rachman dan Din Syamsuddin. Munawar-Rachman mengungkap bahwa Islam Indonesia terbagi dalam (1) rasionalist, (2) neo-modernist, dan (3) transformatif. Sedangkan Din Syamsuddin menyebut empat kategori, yakni (1) formalist, (2) substantivist, (3) indigenist, dan (4) revitalist/fundamentalist.

Sebuah Refleksi Bersama

Warna-warni Islam rupanya begitu beraneka. Untuk mengenal lebih dekat diperlukan ketekunan menelisik sejarah perkembangannya. Lebih dari itu, kekayaan pengetahuan akan sejarah Islam juga perlu ditajamkan dengan pemikiran kritis analitis untuk memahami Islam dalam konteks sejarah dan kekiniannya.

Dalam kesempatan yang begitu  berharga bersama Rm. Heru, para mahasiswa dan pegiat wisma mahasiswa telah belajar bersama. Harapannya semangat pluralisme semakin terjaga. Khasanah wawasan mengenai Islam yang telah kita timba bersama hendaknya menjadi pengingat untuk bersikap proaktif dalam menghadapi berbagai perbedaan yang terjadi terkait dengan keberadaan berbagai kelompok baik di dunia kampus maupun di lingkungan masyarakat sekitar kita.

Bagi Gereja terbersit harapan, semoga semangat untuk bersikap terbuka, ramah dan dialogis semakin nyata. Perbedaan yang ada kita sadari dan kita sikapi bersama dengan tetap memerhatikan batas-batas dalam membangun komunikasi, berani membuat pilihan konkret untuk berkomunikasi dengan pihak yang ada dan sadar sepenuhnya akan setiap konsekuensi yang terkait dengan pilihan tersebut.

                                                                                    Semarang, 1 Mei 2009
@Thian Budiarsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar