Selasa, 26 April 2011

Mengenal Jati Diri Sebagai Mahasiswa (-Katolik) dan Gerakan Mahasiswa (-Katolik) di Era Kekinian

Ruben Silaban, mahasiswa FE UNDIP 2005
A.    Mengenal Jati Diri Sebagai Mahasiswa (-Katolik)
dan  Gerakan Mahasiswa (-Katolik) di Era Kekinian

Mahasiswa adalah penuh potensi. "Berikan saya tiga orang, maka saya akan mengguncang dunia; berikan saya tiga pemuda, maka saya akan mengubah dunia," kata Soekarno.
            Seiring berjalannya waktu dan perputaran roda zaman, sosok Mahasiswa dianggap merupakan sosok yang menjadi
asosiasi atau dengan kata lain merupakan pengganti yang sepadan dari sosok Pemuda yang menjadi agent of change dalam tahap-tahap perjuangan Revolusi Perjuangan Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Mahasiswa yang sudah telanjur dikenal masyarakat sebagai agent of change, agent of modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya.
Kita sadar, bahwa mahasiswa adalah struktur unik dalam tatanan masyarakat, baik dilihat dari sudut politik, ekonomi, maupun sosial. Hal ini dikarenakan masa-masa ketika menjadi mahasiswa adalah masa transisi sebelum mereka melanjutkan dirinya sebagai seorang profesional, pejuang, politisi, atau pengusaha sekalipun.
Selain itu, keunikannya juga tampak dari kebebasan yang mereka miliki, baik kebebasan berekspresi, berpikir, berpendapat, atau melakukan apa pun. Komunitas mahasiswa merupakan satu-satunya komunitas yang paling dinamis dalam menangkap dan mengakomodasi sebuah perubahan paling harmonis dalam menyuarakan pendapat. Sebab, mahasiswa adalah asosiasi dari kejujuran, integritas dan semangat moral. Dalam diri mahasiswa, terdapat kumpulan calon cendekiawan, pahlawan, negarawan, serta profesi lainnya.
Sekarang ini mahasiswa menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar. Meski begitu, setidaknya mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya masing-masing.
Namun bila kita melihat realita sosial sekitar kita, di dalam lingkungan kita sendiri sebagai mahasiswa, jauh lebih banyak mahasiswa dalam ketidaksadarannya justeru menjadi agen perubahan yang membuat masyarakat dan bangsa kita terperosok. Secara tidak langsung, mahasiswa dalam rantai panjang persoalan bangsa ini justeru meneruskan budaya dan pola pikir “titipan” yang pada akhirnya mendestruksi tatanan keadilan yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh sebagian rekan mereka.
Mahasiswa pula yang menjadi agen yang merubah tatanan masyarakat, norma dan moral budaya secara terbalik akibat derasnya arus informasi yang tidak mampu dipilah lewat pelbagai media yang kian marak. Mahasiswa menjadi korban budaya pop barat yang sebenarnya tidak siap untuk diserap, diserang lewat pelbagai media dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Seolah tanpa itu semua, mahasiswa menjadi pribadi yang tidak bebas dan menemukan jatri dirnya. Tidak merasa Gue Banget tanpa menggunakan busana model terbaru dan merek ternama, makan di resto-resto Amerika, clubbing, dan aktivitas lain yang selaras dengan gaya hidup kaum muda pop di barat.
Dalam salah satu istilah yang popular saat ini, terkandung sifat dari  mahasiswa model seperti ini,yakni  Generasi Mahasiswa KKN. Generasi yang taunya hanya Kuliah, Kos, dan Nongkrong. Seluruh aktivitas dan ruangnya tidak pernah jauh dari tiga hal tersebut. Kuliah dipandang sebagai satu syarat menjadi manusia ber-gelar, Kos sebagai ruang aktualisasi sikap individualisme diri, dan Nongkrong menjadi satu ritual baru dimana sikap hedon diwujudkan dengan kesenangan.
Mahasiswa generasi KKN adalah perwujudan oposisi kuat terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri. Secara kasat mata, mahasiswa justeru berperang melawan dirinya sendiri. Hal inilah yang menggerogoti tubuh besar gerakan kemahasiswaan. Melemahkan dan meracuni strukur perjuangan kaum intelektual kampus. Mahasiswa kemudian harus bertarung pada medan kampus dengan wacana mereka sendiri. Bertarung untuk membuktikan sikap mana yang lebih penting dan utama. Pada titik ini mahasiswa kehilangan fokus peran dan tanggungjawabnya sebagai elemen penting bangsa ini.
Bila gerakan mahasiswa yang kian lemah itu masih memiliki bentuk dan terstruktur pada titik yang sama, maka sebaliknya mahasiswa generasi KKN secara sporadis tersebar disetiap ruang. Menjadi yang dominan pada setiap ruang. Kendati tanpa komando, toh mahasiswa generasi KKN adalah mahasiswa yang oleh ketidaksadarannya berpengaruh besar dalam memperlemah posisi rekannya di gerakan kemahasiswaan. Dan hal ini jelas menguntungkan penguasa dan pengusaha yang sepanjang sejarah kerap menjadi sasaran kritik intelektual kampus dan gerakan kemahasiswaan.
Memang tidak terlalu tepat membagi karakteristik mahasiswa hanya pada mereka yang suka memperjuangkan visi kebangsaannya lewat gerakan mahasiswa dan mereka yang bersikap apatis dan memilih menjalani hidup tanpa kepedulian besar akan dinamika sosial kemasyarakatan. Kendati demikian ini adalah pembacaan yang dalam hemat penulis berlangsung dalam kurun waktu terakhir ini.
Memang kedua karakter itu berada dalam tubuh yang sama. Mahasiswa memang adalah manusia kampus yang hidup dalam ruang yang sama namun bergerak menuju suatu ruang yang berbeda. Bila arah gerakan kemahasiswaan diliaht dari sikap memperjuangkan dan menyatakan visinya di setiap aktivitas gerakan, maka berbeda dengan mahasiswa generasi KKN. Tidak ada yang mampu memahami dan memprediksi secara utuh visi dan mimpi mereka. Tidak ada yang mampu memahami secara utuh hendak kemana generasi ini.

B.     Tantangan dan Peran Gereja Katolik
dalam Membangun Mahasiswa Katolik di Era Kekinian
Mahasiswa (Katolik) adalah entiti Gereja yang menjadi tulang punggung Gereja. Dalam waktu 10-20 tahun ke depan, mereka adalah kepala keluarga Katolik, ibu dari anak-anak Allah, Ketua Lingkungan, anggota Dewan Paroki, dan bahkan Pastor. Pentingnya pembimbingan Komunitas Mahasiswa Katolik (KMK) juga membawa tantangan tersendiri, terutama di era saat ini. Tantangan inilah yang perlu dirumuskan dan diatasi, demi masa depan Gereja Allah.
Mahasiswa sebagai kaum muda yang berada pada tahap akhir menjelang pintu dewasa dan telah melewati luapan hormon masa puber, tak dipungkiri telah mulai menetapkan pikiran dan prinsip-prinsip hidupnya. Seorang kontraktor yang sedang menggambar peta bangunan, memilih pondasi, menyusun timeline, dsb. Di sinilah Gereja berperan sebagai perpanjangan tangan Yesus yang mengarahkan menuju yang terbaik bagi Kerajaan Allah dan baginya.
Pada zaman teknologi informasi seperti saat ini, tantangan yang dihadapi oleh Gereja Katolik dalam karya kerasulannya tentunya sudah jelas berbeda dengan zaman Romo Van Lith. Beliau dulu mungkin dapat menyebarkan kabar gembira Kerajaan Allah via rumah ke rumah; mengkoordinir paroki dalam kesatuan kring, stasi, dan lingkungan. Gejala diaspora teritorial (antar rumah jauh, terpencil) memang sudah ada sejak zaman Romo Van Lith, namun kini Gereja memiliki tantangan yang berbeda.
Gereja Katolik saat ini menghadapi tantangan yang bersifat diaspora fungsional dan psikologis. Diaspora fungsional maksudnya bervariasi dalam tugas. Mahasiswa punya tugas yang berbeda: jurusan berlainan, unit kegiatan mahasiswa berbeda, hobi bervariasi, organisasi beragam. Jika Anda penggembala, lebih mudah mana menggembalakan sekawanan domba atau menggembalakan domba, sapi, macan, dan gajah sekaligus?
Selanjutnya, diaspora psikologis berarti tercerabut dari akar kultural tradisional, dimana budaya tradisional sedang diserang oleh badai budaya ’tidak jelas’ (seperti kerena merupakan melting pot dari berbagai budaya).
Kondisi diaspora mahasiswa ini membuat dua masalah besar. Pertama, minimal ada dua golongan besar mahasiswa dalam KMK, yaitu aktif dan pasif. Golongan aktif adalah mahasiswa katolik yang aktif dalam kegiatan KMK di kampusnya. Yang pasif adalah mereka yang lebih memilih aktif di kegiatan mahasiswa lain atau fokus hanya ke studinya. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak tertarik dan menganggap KMK membosankan. Pembimbingan mahasiswa pun menjadi sulit; bagai menyetir truk tanpa power steering. Di sisi lain, tugas kegembalaan Pastor malah semakin bertumpuk akibat pertambahan jumlah umat tidak sebanding dengan pertambahan jumlah Pastor.
Untuk menghadapi itu, diperlukan strategi khusus, seperti  pernyataan aggiornamento               Rm. Mangun (baca Gereja Diaspora). Betul bahwa tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Gereja harus berhadapan dengan ini. Gereja harus bersifat agile, tetap pada rel, tapi juga menyesuaikan diri.
Setidaknya ada dua hal yang perlu diwujudkan. Pertama, yang merupakan salah satu prinsip dalam kaderisasi anggota organisasi, yakni 3-I: inform (membimbing), involve (melibatkan), invite (memberi kesempatan). Pastor bukan hanya sebagai pemberi bimbingan searah. Lebih dari itu, sesuai dengan dua ’i’ terakhir, pembimbingan harus mengikutsertakan mahasiswa dan memberi kesempatan kepada mahasiswa itu untuk berperan. Tidak boleh ada monolog, harus dialog; bahkan, multi-log. Prinsip ini sesuai dengan dekrit Apostolicam Actuositatem (Kerasulan Awam) yang merupakan hasil Konsili Vatikan II.
Manifestasinya, Pastor harus memberikan pendelegasian khusus terhadap beberapa mahasiswa yang telah dibimbing secara khusus pula. Saya menyebutnya dengan special forces (SF). Mereka adalah gerilyawan sekaligus intelejen Kerajaan Allah yang dapat jauh lebih leluasa bergerak ke dalam relung hati teman-temannya serta memiliki waktu yang lebih banyak dan intensif.
Kedua, di sini, perlu ada dua bentuk yaitu organisasi KMK dan organisme KMK. Bedanya, organisasi akan terpatok melulu pada fungsi dan hierarkis. Sementara itu, organisme lebih mengarah pada suatu mahluk hidup yang mandiri dan terus belajar; seperti tubuh kita yang sebenarnya terdiri dari milyaran sel yang hidup dan berkembang mandiri; dikoordinir oleh pusat syaraf. Dalam terminologi ilmu yang berkembang sekarang, dapat dianalogikan dengan cell automata atau neural network (baca Wolfram Sciences).
Dalam organisme mahasiswa Katolik akan ada banyak sel/neuron yang menjadi pusat-pusat kecil pembimbingan. Pusat-pusat ini akan tetap dikoordinir oleh Pastor. Masing-masing sel/neuron dikoordinir oleh SF. Dalam kesatuan sel/neuron ini, masing-masing akan memiliki kegiatan bersama per sel/neuron, seperti KKS (Kelompok Kitab Suci), sharing kelompok, dsb. Neuron/sel juga kan dibentuk dalam dunia maya melalui milis dan forum untuk menjaring mahasiswa pasif.
Sementara itu, dalam tubuh organisasi KMK, peran hierarkis tetap berfungsi. Kegiatan-kegiatan selayaknya organisasi KMK pun tetap ada: rapat, Misa bersama, Paskahan/Natalan, dsb.
Baik organisasi maupun organisme harus dijalankan secara simultan agar sinergis. Dengan model ini, pertama, akan terbentuk pusat-pusat ’sel/neuron’ yang mampu mandiri, berkembang menjadi Mahasiswa Allah sejati, tanpa menghabiskan seluruh tenaga Pastor. Kedua, pusat-pusat ini akan menjadi serangkaian pondasi kecil yang menopang rata kehidupan menggereja komunitas mahasiswa katolik. Yang perlu diingat,. Pastor tetap mahapenting dalam kehidupan menggereja.
C.    Orientasi Gerakan Mahasiswa dalam Kehidupan Gereja dan Masyarakat

Dalam Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang (KAS), tampak jelas diungkapkan bahwa kehidupan menggereja memilki kaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat. Hal ini dengan nyata dan tegas terungkap dalam salah satu Nota Pastoral, yang mengangkat topik; “ Keadaban Publik : Menuju Habitus Baru Bangsa, Keadilan Sosial bagi Semua; Pendekatan sosio-budaya.”  
Bukan hanya itu saja, dalam sejarah panjang Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang sudah muncul sejak 15 Mei 1891, Gereja Katolik telah menunjukkan bentu-bentuk nyata perannya dalam kehidupan masyarakat, terlebih khusus pembelaan terhadap masyarakat kecil yang ditindas oleh perilaku tidak adil.
Kendati demikian, dengan jujur harus diakui bahwa banyak umat (termasuk Kaum muda/Mahasiswa Katolik) tidak mengetahui akan adanya ARDAS maupun ASG tersebut.
Ada beberapa sebab mengapa kondisi seperti ini terjadi (seperti yang disampaikan oleh RM. I Ismartono), diantaranya:
yang pertama, bahwa penampilan Gereja di Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat, daripada penampilan gerakan sosial.
yang kedua, bahwa warga gereja Katolik yang hidup berkecukupan, tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang hidup menderita.
yang ketiga, yakni warga Katolik yang begitu sadar akan “Kekecilannya”. Sindroma minoritas ini, menghinggapi sebagian besar warga umat Katolik yang menyebabkan mereka lebih senang diam daripada harus berkarya mengaktualkan imannya.
yang keempat, karena perkara sosial ini dijadikan ajaran, sehingga sulit untuk diaplikasikan kembali.

 Semarang 5 Mei 2009
Aktif di GMNI dan BEM FE 


1 komentar:

  1. warga Katolik supaya kecil-kecil cabe rawit menjadi garam dan terang dunia

    BalasHapus