Selasa, 26 April 2011

Resensi Buku : PUNK VERSUS KEMAPANAN

Fransiska Romana Nurcahyani, Undip FISIP 2002

Judul buku : The Punk-Pengarang : Gideon Sams-Penerjemah : Ade Ma’ruf-Penerbit : Alinea Yogyakarta-Tahun Terbit : 2004-Jumlah halaman : xv + 58
  
Istilah ”punk” sering digunakan sesuai sifatnya yang merujuk pada suatu tingkatan aktivitas. Kebanyakan orang menganggap punk sebagai aliran yang anti kemapanan. Ada pula yang beranggapan punk merupakan
suatu sikap dimana ia menolak atau menentang segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar.
Gideon Sams dalam novelnya “The Punk”, mencoba mengurai kehidupan dan pergesekan yang dihadapi seorang pungkers, tokoh rekaannya, Adolph Spitz.  “The Punk” merupakan novel punk pertama yang menceritakan tentang kehidupan anak-anak punk pada tahun 1970-an di Inggris. Istimewanya, novel ini ditulis oleh Gideon saat ia berusia 14 tahun sebagai projek sekolahnya. Pada saat novel ini ditulis, punk sedang banyak digandrungi oleh anak-anak muda terutama di Inggris saat itu. Punk  mulai muncul tahun 1970-an, dan di Inggris punk mengalami puncaknya di tahun 1977. Punk masih berada di dalam ranah underground hingga tahun 1976. Kita juga dapat mengetahui bagaimana sebuah genre musik dapat memberikan inspirasi pada banyak orang di dunia terhadap kemapanan yang ada dalam novel ini.
Novel ini berkisah tentang kehidupan seorang anak punk yang bernama Adolph Spitz. Dia satu-satunya anak lelaki di keluarganya, ayahnya seorang polisi dan ibunya hanya ibu rumah tangga. Pada masa itu, anak seusia Adolph seharusnya sudah bekerja, namun tidak demikian halnya dengan Adolph. Mendengarkan musik-musik punk dari piringan hitam sebelum tidur, merupakan kebiasaannya tiap malam. Ibunya selalu mengeluhkan tentang Adolph yang tak kunjung bekerja. Sang ibu mendesak Adolph untuk segera mencari pekerjaan. Dengan dandanan ala punk, Adolp pun pergi ke bursa kerja. Adolp akhirnya mendapatkan pekerjaan di tempat pemotongan ikan dengan gaji 24 pound seminggu karena hanya itu pekerjaan yang tersisa untuknya. Namun manejer tersebut meminta Adolph untuk berpakaian lebih konservatif. Demi uang yang akan ia peroleh, Adolph pun tetap menerima pekerjaan tersebut. Setelah mendapatkan kerja itu, Adolph pergi meninggalkan rumahnya dan tinggal di sebuah flat kecil milik seorang anak punk lain yang tengah dipenjara.
Pertemuan Adolph dengan anak-anak Ted (dari kata Teddy Bear, kelompok penentang punk dari golongan kelas pekerja) membuat dia jatuh cinta pada Thelma, gadis yang menyelamatkannya dari pengeroyokan anak-anak Ted itu. Ternyata, perjumpaannya dengan Adolph membuat Thelma jatuh cinta pada musik punk. Ia memutuskan masuk punk dan meninggalkan pacarnya kemudian dia mulai menjalin kasih dengan dengan Adolph.
Suatu malam, sepulang dari menonton konser bersama Thelma di The Roxy yang bintangnya adalah band-band punk yang terkenal pada masa itu, Sex Pistols dengan 2 bintang tamu The Damned dan The Clash, Adolph dibuntuti oleh Ned, mantan pacar Thelma . Ned berniat membunuh Adolph karena ia merasa Thelma meninggalkannya karena Adolph. Namun malang, justru Ned yang tertikam pisaunya sendiri pada saat mereka berkelahi.
Berita tentang kematian Ted dimuat di koran pagi harinya. Hal tersebut memicu kemarahan gerombolan Ned. Tak pelak perkelahian pun terjadi saat Adolp dan Thelma bertemu dengan mereka. Karena kekuatan tak seimbang akhirnya Adolp pingsan dan tragisnya saat Thelma berusaha menolong Adolph, salah seorang wanita Teddy menikam kedua anak punk tersebut. Merekapun tewas tergeletak di pinggir jalan tanpa ada satu orang pun yang memperdulikan hingga polisi datang membawa jenazah keduanya.
Novel ini mencoba mengupas pertentangan antara kaum punk yang anti kemapanan dan kaum konservatif di Inggris masa itu. Dalam menginterpretasikan anti kemapanan, kaum punk menunjukkannya dengan gaya berpakaian nyentrik, tatanan rambut spiky dan segala aksesoris  yang menyertainya. Nama yang mereka buat di dalam komunitas punk pun adalah nama yang juga menunjukkan ciri khas mereka. Hal inilah yang masih sulit diterima oleh masyarakat Inggris pada saat itu.
Banyak gesekan yang timbul dalam kehidupan tokoh Adolph yang coba mewakili komunitas punk pada masanya. Pergesekan dengan keluarga, masyarakat berikut nilai-nilainya, bahkan dengan komunitasnya sendiri. Adolph menganggap bahwa dunia di luar dirinya serba munafik dan tak jujur sehingga ia memutuskan untuk memilih kehidupannya sendiri. Pembaca juga diajak menelisik sisi lain kehidupan punkers, seperti kebiasaan mereka ketika berkumpul, menonton musik, bahasa yang mereka gunakan, bahkan kebiasaan mereka menggunakan narkoba dan kekerasan. Novel ini sangat membantu kita yang ingin tahu tentang punk. Ini merupakan fenomena nyata dimana kita masih saja berpikir bahwa anak punk itu sampah dengan segala ciri yang mereka coba bawa.
Bagaima pemikiran penganut punk terhadap kemapanan itu sendiri, cara mereka menentang segala macam bentuk kemapanan, serta pemikiran mereka terhadap aliran (genre) musik yang lain seperti pop, rock, dll. Penentangan terhadap kemapanan oleh anak punk sangat ekstrim karena mereka keluar dari norma-norma masyarakat pada umumnya. Mereka berusaha mengungkapkan kebenaran menurut cara mereka sendiri yang masih sulit diterima oleh masyarakat pada umumnya. Dan sampai sekarang pun punk masih mendapatkan perspektif yang kurang baik oleh masyarakat, termasuk di masyarakat kita.
Di dalam novel itu juga dipaparkan mengenai romantisme anak punk. Anak-anak punk juga masih mengenal cinta, kasih sayang, masih memiliki perasaan. Di dalam punk itu tidak hanya ada sisi negatif namun ada sisi positifnya yang seringkali orang-orang awam tidak mengerti mengapa mereka sampai bertindak tidak lazim. Dalam novel ini banyak digunakan bahasa-bahasa kasar, sehingga novel ini tidak disarankan dibaca untuk anak kecil. Meskipun Sang Penulis masih anak-anak ketika menulis "The Punk".
Ada beberapa hal yang belum dipaparkan dalam novel itu, diantaranya: apa yang membuat anak-anak muda pada masa itu tertarik dengan musik ini tidak diberikan alasannya. Awal adanya punk di Inggris sendiri masih belum dikupas tuntas. Bagaimana kelompok-kelompok musik punk berusaha menyampaikan idealisme mereka melalui musik.
Penulis sendiri adalah penggemar berat Sex Pistols namun ia bukanlah anak punk sejati karena ia lebih mengagumi Rolling Stones. Pada saat menulis ini, Gideon masih berusia 14 tahun. Ini hal yang sangat istimewa karena anak seusia itu sudah dapat membuat karya yang sulit dibayangkan. Novel ini sendiri juga telah mengilhami pembuatan film "The Punk and The Princess" (1993) yang dibintangi Charlie Creed Miles dan Jess Conrad, serta disutradarai oleh Mike Sinre.
Lepas dari kekurangan dan kelebihan dari novel ini, novel ini layak dibaca karena kita bisa menarik nilai-nilai positif dari punk yang tidak terdapat di aliran yang lain. Di sini kebebasan itulah yang mereka perjuangkan. Pada hematnya kita dapat menarik nilai-nilai positif itu untuk memperkaya pengetahuan dalam kehidupan kita. 
Tulisan pernah dimuat Buletin Radix (WMD) edis 1 Nov 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar