Senin, 25 April 2011

Soegija The Monsignor

DULU…, awal abad keduapuluh, ketika penguasa pemerintahan kolonial mulai menjalankan politik “Hutang Budi” (1908-1928) kepada rakyat jajahan Hindia Belanda, sebagai Jesuit pribumi berpendidikan Barat modern, Rama Soegija mulai bertanya kalau begitu-sama sajakah seorang (Katolik) Eropa dengan seorang (Katolik) pribumi dari negara yang kini disebut Indonesia?” Bagi Soegija yang bertahun-tahun (1919-1926) mengalami pendidikan modern gaya Eropa...

DULU…, awal abad keduapuluh, ketika penguasa pemerintahan kolonial mulai menjalankan politik “Hutang Budi” (1908-1928) kepada rakyat jajahan Hindia Belanda, sebagai Jesuit pribumi berpendidikan Barat modern, Rama Soegija mulai bertanya kalau begitu-sama sajakah seorang (Katolik) Eropa dengan seorang (Katolik) pribumi dari negara yang kini disebut Indonesia?”
Bagi Soegija yang bertahun-tahun (1919-1926) mengalami pendidikan modern gaya Eropa di Belanda, apa yang dia bayangkan sebagai “Indonesia” atau lebih khusus “Gereja Katolik Indonesia” bukanlah sekedar perbandingan terhadap yang “Eropa” itu. Perbandingan seperti itu hanya mau menyatakan bawa Eropalah model yang benar. Padahal, sejak 1928 Indonesia menjadi sebuah “komunitas imajinatif” yang mewadahi para warganya untuk berbahasa nasional supaya cakap mengatasi berbagai perselisihan berdasar SARA (kelas Sosial, Agama, dan RAS). Itulah nasionalitas Indonesia yang terbayangkan dan senantiasa terbarukan.
Hidup dalam jaman dan suasana politik yang sama dengan Bung Karno, Rama Seogija yang juga seorang penulis dan wartawan, suka lebih mengutamakan BAGAIMANA memperkembangkan Kebangsaan dan Gereja yang nasionalis dan merdeka, daripada sekedar melestarikan APA yang adiluhung dan mulia dari Indonesia.
SELAMA INI … Tidak mengherankan kalau Bung Karno dan Monsinyur Soegija adalah sama-sama tepat kalau dijuluki sebagai “Penyambung Lidah Rakyat” Hal itu berarti bahwa kata-kata Bung Karno dan Monsinyur Soegija memang didengarkan oleh orang-orang yang merasa, sesudahnya, bahwa kedua tokoh nasional tersebut memang berbicara untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Artinya, Sukarno dan Soegija sungguh mengatakan dan mengungkapkan apa yang memang dipikirkan oleh rakyat. Tentu saja, selama ini orang-orang dan para pejabat yang bersedia “mengemban amanat rakyat” tidak kurang. Akan tetapi, tidak mudah lagi dan menjadi langka untuk menemukan orang-orang atau rakyat kecil yang merasa kepentingannya disuarakan. Dan justru orang-orang yang langka seperti itulah yang sedang dibuang, disingkiri/kan dari pikiran.
SEKARANG… Film ini menyajikan masa lalu jejak-jejak bagaimana Monsinyur Soegija waspada dan jeli menghadapi ironi, keraguan dan kerapuhan kekuasaan (post) colonial, untuk langkah-langkah Negara bangsa dan gereja Indonesia (post) modern masa kini. Film ini adalah lakon tentang bagaimana kuasa sebuah pengaruh, dan bukan pengaruh kekuasaan.
(ditulis oleh : Dr. Budi Susanto Sj )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar